11. Rainbow

330 14 0
                                    

"Udah anget?" Tanya Nabil, sembari duduk didepan gue. Sepulang Sekolah, dia mengajak gue ke cafe yang biasanya kami datangi-- gue dan keempat Terong. Dia tahu kalau gue kedinginan dan nggak bawa jaket. Boro-boro jaket, payung aja minjem punya Evan.

Gue nggak terlalu suka membawa hal-hal yang bukan prinsip. Maksudnya, tujuan gue ke Sekolah adalah belajar, yang gue perlu kan hanya buku dan alat tulis, jadi hanya itu yang gue bawa. Bisa dibilang gue hampir nggak pernah bawa benda-benda lain kayak jaket, payung, novel, apalagi alat make-up.

Untungnya Nabil punya jaket di mobilnya, dengan senang hati dia meminjamkannya ke gue. Kadang gue sampai mikir, jangan-jangan Nabil sekomplotan sama Jacob di serial twilight, soalnya tubuhnya selalu hangat walaupun sedang dingin. Untuk mengecek, gue selalu memegang lengannya setiap kali Nabil bilang kalau dia nggak kedinginan.

Gue mengencangkan hoodie biru ini di tubuh, walaupun sedikit kebesaran, justru ini malah membuat gue semakin hangat. "Udah mendinganlah. Ini jaket nggak pernah dipake ya? Kok nggak buluk."

"Emang semua barang yang gue pake harus bulukan?" tanya Nabil sisnis.

"Ya nggak sih, tapi lo kan suka baju-baju yang udah lama. Lebih tipis lebih adem kata lo." tukas gue.

"Itu hadiah." ucap Nabil singkat.

Gue terbelakak. "HADIAH? siapa nih yang ngasih? Jangan bilang kalo ini Nyokap lo yang yang ngasih, bakal keliatan jomblo abis."

Nabil mendesah. "Itu Ica yang ngasih. Jangan mikir yang nggak-nggak dulu. Dia ngasih sebagai hadiah aja, karena udah lama nggak ketemu."

Tiba-tiba trio ncut datang seperti biasanya, dengan heboh. Gue menyerngit. "Kok ada mereka?"

"Iya, tadi gue yang nyuruh mereka dateng. Pasti lo kangen kan?" Nabil menarik turunkan alisnya genit.

"Iya, iya gue kangen. Udah pada jarang berciut di group lagi nih, sombong." tukas gue, sambil memeluk satu persatu personel trio ncut.

"Lo kali yang sombong  udah punya tunangan. Nggak dianggap jomblo lagi." celetuk Kucel. Mereka bertiga, tanpa disuruh langsung memesan minuman.

Raka menyeringai. "Jadi apaan berita angetnya? Tentang lo sama Evan."

"Kalian tuh apaan sih, baru dateng rusuh. Nanya-nanyain Evan lagi," gerutu gue, menyeruput latte hangat dengan ganas.

"Ya kan kita mau bantu lo." Kalau Fadel yang buka mulut, gue beneran yakin kalau dia memang mau membantu.

Gue menarik napas panjang. Gue benar-benar ingin menghentikan topik tentang perjodohan sialan ini. Kalau nggak gue ketemu Evan, orang-orang ngomongin Evan. Payah.

"Kalian beneran mau bantu gue nggak. Tanpa comel, tanpa ember." tukas gue. "Masalah ini nggak ada hubungannya sama perjodohan gue."

Kucel mengangguk-angguk. "Tapi bukan soal buang bangke kucing kan?"

Segera gue menempeleng kepalanya. "Nggak elit banget mecahin masalah kayak gitu doang. Ini serius, soal Bokap gue."

Semua tampak terkejut, kecuali Nabil. Raka yang baru menggigit pancake, langsung menelannya bulat-bulat, tidak sabar untuk menyimak kalimat gue berikutnya. Gue bercerita panjang lebar soal surat wasiat yang nyasar ke Rumah Nabil, dan tentang surat otopsi yang membuat semuanya semakin terkejut-- kecuali Nabil.

"Gue harus segera cari pembunuhnya. Nyokap gue samasekali nggak bisa diandelin, walaupun dia tahu." jelas gue. "Dan yang ngirim surat wasiat itu. Seenggaknya gue perlu bilang terima kasih."

"Tahu diri juga lo." celetuk Nabil. Kalau ini Rumah gue, udah gue lempar asbak nih anak. Cowok itu hanya menyeringai sambil memberikan isyarat tangan supaya gue melanjutkan.

The AuthorWhere stories live. Discover now