19. Strange

288 14 1
                                    

Dita: Kalo gue ada waktu, bisa.

Gue yakin semua sadar kalo itu bullshit. Karena selama ini, gue yang mengalahkan waktu. Seberapa sibuk, seberapa banyak tugas yang harus gue kerjain, bakal gue tinggal demi bertemu dengan mereka.

Bukan hanya mereka yang kecewa, ada sedikit rasa itu didalam diri gue. Rasanya terlalu munafik untuk menolak mentah-mentah hanya karena alasan yang nggak jelas. Rasa yang sedang bergejolak, entah apa. Seperti api yang tak kunjungi padam. Tapi ini juga tidak bisa disebut kemarahan.

Kalau tangan ini sekuat milik Hulk, bisa-bisa dengan hanya menekan tombol kunci, handphone gue langsung penyok tak berbentuk. Gue menaruh handphone hitam itu didalam tas, berencana untuk tidak membukanya selama yang gue bisa.

Handphone bagi gue bukanlah segalanya, hanya tiga fungsi, nelfon, chatting dan mendengarkan musik. Jadi sangat mudah buat gue untuk mengabaikan benda yang dianggap maha penting ini.

Gue segera masuk ke Mobil, ketika Evan berhenti didepan lobi. Sudah sepi, jadi dia berani melakukannya.

"Lusa, lo ikut gue ke ultah temen ya. Bisa kan?" nadanya lebih kepada memaksa gue untuk ikut.

Gue mengangguk. "Iya."

"Barusan Nyokap lo nelfon, katanya hari ini dia lembur. Dia nelfon lo tapi nggak diangkat." kata Evan.

Dengan enteng gue menjawab, "Iya, gue silent mode."

Jadilah malam ini, Evan tidur di Rumah gue. Gue merasa, semenjak perjodohan ini sofa adalah tempat favoritnya. Walaupun hanya bermodal selimut tipis yang gue pinjamkan dan bantal sofa yang agak keras. Ini semua seperti, milik gue dilantai atas, dan Evan dibawah.

Untungnya dia bukan penakut, jadi bisa tetap pulas walaupun semua lampu Rumah gue dimatikan.

Bagi gue, ini terasa sangat konyol. Dimana ada seorang lelaki yang entah siapa tiba-tiba sering menginap di Rumah gue.

Karena kejadiannya kemarin malam, rasanya gue bakal lebih tenang jika tidur sambil menyadari kalau ada orang didekat gue. Evan, malam ini dia bakal punya teman dilantai bawah. Lebih baik daripada dia yang pindah ke Kamar gue.

Awalnya gue ingin tidur di karpet, menggeser meja kecil dan menggelar bedcover disana. Tapi akhirnya itu menjadi tempat Evan karena dia merasa nggak enak, akhirnya gue mengambil selimut dari Kamar Nyokap untuk tidur di sofa. Walaupun rasanya lebih enak tidur di karpet daripada di sofa, gue nggak bisa menolak kebaikannya.

Keberuntungan berpihak ke gue malam ini. Nggak ada mimpi buruk, nggak ada keringat, dan nggak ada satu gelas cokelat di pagi buta. Gue bangun seolah nggak ada yang bisa merusak kebahagiaan ini. Gue berangkat seperti biasa, sampai Sekolah tepat waktu dan belajar dengan cukup baik.

Kelas Bahasa Inggris hari ini, kami ditempatkan di perpustakaan, merangkum artikel di majalah. Gue sudah selesai setengah jam sebelum pelajaran selesai, dan terpaksa membaca buku cerita anak-anak sambil menunggu bel berdentang.

Karena buku anak-anak berada di tempat lain-- yang sebetulnya hanya dipakai untuk referensi-- gue menjauh dari kerumunan, membacanya tepat didepan rak buku. Karena seluruh lantainya dilapisi karpet, gue duduk dan bersandar ke tembok supaya gampang mengambil cerita selanjutnya. Karena membaca buku seperti itu, paling lama hanya lima menit.

Suara pintu dan kebisingan lain terdengar, membuat gue terfokus ke keramaian itu. Rombongan Kelas 12 menghambur didalam ruangan. Walaupun luas, menampung dua kelas di perpustakaan bukanlah ide yang bagus.

Entah apa yang mereka lakukkan, tapi untung saja buku-buku di rak yang mengapit gue ini jarang dipakai. Jadi, gue nggak perlu bergeser atau mendengar keributan mereka dengan jelas.

The AuthorWhere stories live. Discover now