22. Lines Paper

318 16 3
                                    

Karena Evan, grup LINE gue menjadi semakin heboh. Seolah-olah, hal itu patut dirayakan selayaknya 17 Agustusan.

Gue mendengus berkali-kali ketika membaca pesan mereka, sementara Evan, si pembuatan onar malah menyetir tanpa merasa berdosa.

"Tega banget lo Van." gue meringis. "Gue nggak mau ketemu dia, gue nggak tahu apa yang bakal gue omongin kalau ketemu dia."

"Ya lo nggak usah ngomong, makan aja." enak banget nih jidat ngomong.

"Iya, tapi nanti jadi canggung. Semuanya pasti usil, berusaha biar gue mau ngomong."

"Selama bukan Nabil yang nanya, apa salahnya dijawab."

"Iya, tapi nanti mereka juga berusaha biar gue mau ngomong sama Nabil. Atau nanya sesuatu yang ada hubungannya sama Cowok itu."

Evan menaruh jari telunjuknya ke bibir gue. Mengalihkan pandangannya dari jalan selama beberapa detik. "Ssshhh, nggak usah ngimpi deh mereka bakal nanyain itu. Lo dateng aja pasti mereka seneng."

Gue ingin membalas tapi tidak ada gunanya. Salah satu keburukan gue memang gue suka berantem gara-gara berdebat. Dan yang mengatakannya itu adalah Nabil, hal itu menambah hawa panas yang mengalir keseluruh tubuh gue.

Lagipula Evan tidak bakal mengerti, bertemu Trio Ncut aja nggak pernah. Apalagi memahami satu-persatu sifat mereka. Gue aja yang sudah lima tahun berteman, masih nggak bisa mengerti.

Suasana di mobil menjadi hening, hanya ada suara radio yang sedang menampilkan iklan. Bahkan Evan tidak berusaha membuat percakapan dan ini terasa aneh.

Karena beberapa hal yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, sekarang gue mulai menikmati segala hal yang dilakukkan bersama Evan. Cia benar, setelah gue mengenal Evan, gue bakal menyukainya. Sebagai teman, nggak lebih.

Seharusnya Evan tidak perlu menginap malam ini. Selain karena dia sedang membuat gue naik darah, Nyokap sudah pulang. Tanpa mengecek, gue sudah bisa mengetahuinya hanya dengan melihat garasi.

Tapi pertanyaannya membuat gue ragu, "Lo nggak papa kalau mimpi buruk lagi?"

"Iya, nggak papa."

"Mendingin lo tidur bareng Nyokap lo deh." sarannya itu membuat gue segera melotot.

"Ya enggaklah, gila aja. Malah tambah mimpi buruk." jujur, itu malah membuat gue semakin takut. Apalagi semua ini berawal dari Nyokap.

"Yaudah, kalau mimpi lagi telfon gue ya." ucapnya sambil tersenyum jahil.

Gue berdecis. "Nggak perlu, lo udah bikin gue kesel sore ini."

Evan meletakkan jempol dan empat jadinya diantara pipi gue. Sontak gue kaget, dan merasa aneh.

"Oh, jadi ini yang dibilang orang nggak tahu terimakasih? Udah ditraktir banyak banget tapi masih aja nganggep gue nyebelin."

Gue menurunkan tangannya yang membuat bibir gue jadi monyong itu. "Kalo traktirannya kan gue udah bilang makasih."

"Itu nggak cukup, karena lo udah pesen makanan banyak sementara gue cuma minum susu." Evan pura-pura terlihat kecewa.

Seharusnya, kalau bukan karena kejadiannya terakhir yang dilakukannya, dia berhasil menjadi mood booster gue hari ini. Apalagi karena tadi pagi dia sudah menyelamatkan gue dari mimpi buruk.

Tapi selalu saja, kegembiraan gue nggak pernah seratus persen kalau bersamanya. Dia memang paling jago menaik-turunkan mood gue.

"Yaudah sih kalau lo bisa jaga diri. Gue pamit ya, Salam buat Nyokap lo." ucapnya. Dia selalu begitu, padahal sudah jelas-jelas salamnya itu nggak bakal sampai.

The AuthorWhere stories live. Discover now