8. The Night

363 20 0
                                    

Dalam hitungan jam, gue udah bisa beradaptasi dengan keluarganya Evan. Sempat bergabung juga dalam permainan ping-pong bersama kesepuluh sepupunya yang sepantaran. Ternyata mereka semua memang jago, dan salah satunya atlet. Enam ronde, selama itu juga gue nggak menang.

Walaupun gue sempat menyingkir dari keluarganya Evan, tapi tak bisa dipungkiri kalau permainan ping-pong itu membuat gue penasaran. Dan pada dasarnya gue nggak terlalu suka nyuekin orang.

Cia lebih banyak menghabiskan waktu di halaman belakang, bersama Kakak laki-lakinya. Sepertinya cewek itu malu sama Evan, karena waktu gue ajak main bareng, dia nggak mau. Selama ini gue baru tahu kalau Cia masih punya urat malu.

Gue sedang asik-asiknya menonton ping-pong ketika Evan datang dan menarik lengan gue secara tiba-tiba. "Ikut gue."

Sebelum sempat bersuara, gue langsung mengikutinya sambil memasang kembali sepatu yang sempat gue lepas. Tadi gue sempat terpeleset, karena sepatu teplek sialan ini.

"Mau kemana sih?" tanya gue kepo, saat melewati anak tangga terakhir.

Lantai kedua Rumahnya terang benderang, tapi samasekali tidak ada orang. Dan gue merasa seperti tur Museum karena ada banyak sekali guci dan lukisan, yang nggak menyeramkan karena nggak ada yang bergambar makhluk hidup.

Evan nggak menjawab pertanyaan gue. Dia terus berjalan ke pintu lapuk diujung ruangan, yang hampir kasat mata. Seakan pintu itu adalah yang tertua di Rumah ini.

Ada sebuah tangga darurat dan barang-barang rusak didalam, yang terlihat bersih. Gue semakin penasaran ketika Evan menaiki tangga dan mengulurkan tangannya ke gue. Tanpa bisa berkata-kata, gue mengikutinya. Lalu dia membuka langit-langit Rumah dan menyuruh gue masuk.

Dalam sekejap, gue sudah berada diatap Rumah Evan yang super tinggi. Dengan mudah gue memanjat dan duduk diatas genteng-genteng hijau. Setelah menutup dapat gentengnya, Evan duduk di sebelah gue. Gue melihatnya dari sudut mata, karena nggak bisa berhenti mencengo melihat langit yang tak berujung diatas sana.

Seumur gue tinggal di Rumah, nggak pernah sekalipun terlintas di otak gue untuk melakukkan ini.

"Keren." ucap gue, sambil terus mendongak. Walaupun nggak ada bintang, gue tetap menikmatinya. "Lo suka kesini?"

Evan menyilangkan kakinya. "Iya, sering."

"Seneng ya, rasanya gue udah lupa sama semua masalah." gue tersenyum.

"Dulu gue sering banget kesini, semenjak ada sesuatu yang bener-bener bikin gue tertekan." ucapnya datar

"Maksudnya?" gue menyerngit.

Evan langsung menoleh, seakan baru tersadar kalau ada gue disampingnya. Dia berdeham, "Ya, contohnya waktu gue dijodohin sama lo."

"Waktu gue tau mau dijodohin sama lo, gue malah ngadu ke Nabil." kata gue, sibuk menahan rok yang tertiup angin.

"Awet-awetlah lo, temenan sama Nabil." ucapannya itu, tanpa sadar membuat gue tersenyum. Nabil? Entah kenapa sekarang gue selalu peka terhadap nama itu.

"Yes, of course. Dia tuh kayak diary gue, orang yang paling bisa di percaya." gue menyeringai. "Gue mau tiduran."

"Silahkan," tukas Evan.

Gue mendesah, "Tapi gue pake rok, nanti lo menang banyak."

Evan mendengus, menggaruk tengkuknya, "Elah, gue nggak doyan begituan." lalu cowok itu memberikan sweaternya ke gue. Segera gue pasangkan untuk menutupi bagian atas kaki gue.

Evan juga ikut telentang disamping gue, dengan dua tangan yang menopang kepala bagian belakangnya. "Jam berapa sekarang?"

"Dua belas kurang seperempat." jawab gue setelah melihat jam tangan. Sekedar info, gue pakai jam baru-baru ini karena Nabil sering marah karena gue suka lupa waktu.

The AuthorWhere stories live. Discover now