Epilogue

527 27 10
                                    

Wajahku terpantul di cermin besar yang baru beberapa hari lalu kubeli. Sebetulnya kami memiliki satu dikamar, cermin yang menyatu dengan meja rias istriku.

Tapi dia menghabiskan waktu puluhan menit untuk duduk didepannya, jadi aku sengaja membeli yang baru untuk hari ini. Bisa-bisa aku tidak mendapatkan bagian kalau bercemin bersama isteriku.

Isteriku, dia dua kali lebih cantik daripada orang yang aku sayangi selama lebih dari sepuluh tahun. Isteriku sangat lembut, volume suaranya amat kecil sehingga terkadang aku harus mendekatkan telingaku untuk mendengarnya.

Ketika aku usil, dia hanya mendengus sambil mengatakan kalau aku menyebalkan. Dia selalu menjaga kata-kata yang keluar dari mulutnya, yang awalnya membuatku merasa tidak nyaman. Tapi karena sudah satu setengah tahun kami hidup sebagai pasangan suami-isteri, aku biasa saja.

Setelah menikah, dia mengabdikan hidupnya untukku dan keluarga kami nantinya. Dia sendiri yang mengurus pekerjaan Rumah, dan dia punya hobi menjahit untuk menghabiskan waktu ketika aku tidak bersamanya.

Tapi terkadang, aku merasa rindu dengan seseorang itu. Dia ada dihidupku untuk waktu yang sangat lama. Isteriku tahu itu, dan dia mengerti apa yang aku rasakan.

Jadi dia selalu mengizinkanku melakukkan sesuatu untuk mengenang gadis itu. Dia tidak mengenal gadis itu, bahkan bertemu dengannya saja belum.

Tapi mendengarkan cerita tentangnya dariku, dia tahu seberapa berharganya gadis itu bagiku.

"Aku udah siap. Kamu yang nyetir?" Isteriku keluar dari kamar, menghampiriku yang sedang merapikan kemeja hitam yang kukenakkan.

Aku mengambil kunci dari tangan isteriku, dia menggandengku ketika kami berjalan ke mobil. Satu hal, isteriku romantis, sedangkan aku tidak. Tapi dia bilang, aku lelaki yang lucu, punya selera humor.

Aku sengaja ambil cuti hari ini, dan disiang bolong begini, jalanan terasa lengang. Dalam setengah jam, kami sampai didepan Rumah yang sangat tidak asing bagiku.

Rumah itu kini sedikit tak terurus, dengan retakan dan cat yang sudah mengelupas ditembok bagian atasnya. Tapi gerbangnya, seperti baru kemarin dicat kuning keemasan.

Aku memandang Rumah disampingnya, gerbang kayu pendek sudah berubah menjadi pagar hijau setinggi dua setengah meter. Lantai dua Rumah itu sudah direnovasi menjadi lebih besar, dulu hanya ada sepetak yang digunakan sebagai gudang.

Banyak kenangan di Rumah itu, aku tinggal disana sampai umurku dua-puluh empat tahun. Dan sekarang aku sudah hampir kepala tiga.

Aku memasuki Rumah dengan gerbang keemasan itu, pintunya terbuka lebar dan sudah tiga mobil yang terparkir didalam. Karena tidak cukup, aku memarkir mobil dipinggir jalan.

Ketika kami memasuki Rumah, empat orang dengan seragam hitam-hitam menyapaku. Mereka tersenyum, mungkin jika waktunya tepat, mereka akan menghinaku didepan Isteriku.

Yang menikah paling pertama adalah Raka, mantan playboy itu sudah taubat dan memiliki seorang anak berumur satu tahun yang tidak dibawanya kali ini.

Fadel, dia baru saja menyelesaikan S3nya di Jerman dan meminang seorang Wanita Aceh yang berhijab. Fadel adalah jadi suami yang ideal menurutku.

Dan Axel, dia selalu menghinaku karena Isteriku terlalu lembut dan sangat cantik. Kalau dibandingkan dia yang sama-sama memiliki Isteri cantik, rasanya lebih tidak masuk akal dia. Bahkan aku sering berkata bahwa dia memakai buhul-buhul untuk mendapatkan Isteri secantik itu.

Tapi bedanya, Isteriku sangat lembut sementara Isterinya tidak jauh-jauh beda dengan Axel. Nadanya selalu tinggi dan tak segan-segan memarahinya Axel didepan kami.

The AuthorWhere stories live. Discover now