7. Annelicia

392 17 0
                                    

Suara mobil yang akhir-akhir ini terdengar tak asing ditelinga gue, terdengar merapat ke depan Rumah. Dengan dandanan super rapih dan bukan gue banget, gue langsung keluar. Tanpa menunggu mesinnya dimatikan, tanpa menunggu di pengendaranya turun seperti biasa.

"Lumayan." komentar pertama yang keluar dari mulut Evan, membuat gue segera mendengus.

Gue tahu persis apa maksudnya. Kemarin dia bilang kalau gue harus berpakaian rapih dan sedikit formal. Tapi ini benar-benar berlebihan, bukan lumayan malah. Kemeja chiffon transparan-- tank top gue kelihatan, dan rok hitam polkadot menghiasi tubuh gue. Ditambah lagi sepatu teplek yang nyokap belikan saat pertama kali makan malam bersama Evan dan Nyokapnya. Lagipula itu kekecilan, jadi gue injek aja bagian belakangnya.

"Nggak usah komentar." ucap gue ketus. Dan jangan tanya siapa yang mendandani gue, kalau bukan Nyokap.

"Rambut lo juga lucu kok." Evan tidak menghiraukan ucapan gue. Dia malah tersenyum jahat.

Gue mengelus ujung rambut, lebih tepatnya ujung kepangan gue dengan model entah apa. "Geli banget ih."

Sumpah, gue bakal lebih milih dikepang gaya culun daripada kepangan kayak gini. Tapi gue nggak mau mengecewakan Nyokap yang udah susah payah mencari tutorial di Youtube dan mengaplikasikannya di Rambut gue, yang hanya bagian tengah depan rambut gue yang dikepang sampai ujung rambut. Nggak terlalu kentara, tapi cukup membuat gue terlihat aneh. Apalagi dengan cara jalan gue yang bukan ala-ala gadis.

"Gue nggak nyangka aja gitu, lo dandan sampe segitunya."

"Maksudnya menor?" Tanya gue, memegangi pipi yang lembab karena foundation. Tadi Nyokap juga sempat mendandani gue, pakai lipgloss merah dan maskara segala. Terus bulu mata gue yang turun dilentikkin. Pokoknya nggak banget.

"Maksudnya penampilannya lo secara keseluruhan."

"Iya, ribet."

Tak berapa lama, gue sampai didepan gerbang raksasa. Gerbang kayu itu tingginya sekitar dua meter, dengan sebuah pos dipojok gerbang. Gue segera mengetahui kalau didalamnya adalah Rumah Evan ketika seorang satpam membukakan gerbang tanpa disuruh. Lantas Evan mengucapkan Terimakasih.

Sepanjang jalan dari gerbang menuju pintu Rumahnya, berjajar mobil-mobil keluarga yang mewah. Setelah memutari setengah bagian Taman dibagian tengah, Evan memarkir mobilnya di garasi yang selalu terbuka.

Entah kenapa, ketika gue melihat rumahnya yang super besar itu, bulu kuduk gue merinding. Bukan karena takut setan, tapi gue benar-benar gugup. Sumpah, Rumah gue aja udah termasuk besar, yang nggak ada apa-apanya dibandingkan Rumah Evan. Bukan, tapi bukan Rumahnya yang gue takuti, gue takut sama diri gue sendiri.

Tangan kanan gue menggenggam dompet dan tangan kiri gue dengan erat meremas bagian ujung rok. Tiba-tiba aja kaki gue nggak bisa gerak, seluruh tubuh gue kaku. Oke, anggap aja ini cuma acara Tahun Baruan biasa.

"Gue nggak melihara singa kok didalem." Evan, yang baru saja memutari bagian depan mobilnya langsung menggenggam tangan gue yang berkeringat.

Dengan kaku gue berjalan, semakin lama gue semakin erat memegangi tangannya. Heran, dia kelihatan biasa aja dan nggak marahin gue karena kesakitan, padahal tangan putihnya itu cukup terlihat merah karena genggaman gue.

Rumahnya minimalis, yang dipadu dengan unsur-unsur klasik yang terlihat jelas pada pilar-pilarnya. Belum lagi di seberang bagunannya, ada taman yang diameternya sekitar 25 meter-- Taman yang tadi kita putari. Bahkan ada taman burung kecil. Gue suka Rumah yang tamannya luas.

Pintu Rumahnya terbuka lebar, cahaya dari lampu kuning besar di Ruang Tamu menyelinap hingga teras. Saat sampai dipintu masuk-- yang terbuat dari jati asli. Bahkan gue bisa langsung melihat ujung Rumahnya yang tidak dibatasi oleh apapun, bahkan rak-rak. Itu membuat suasana rumah semakin lega, paling hanya meja-meja berisi makanan yang menghalangi pengelihatan gue ke kolam renang. Pintu belakangnya terbuat dari kaca, dan Tamannya tak kalah bagus dari yang didepan.

The AuthorWhere stories live. Discover now