21. Nightmare & Text

310 14 0
                                    

Ketika gue membuka mata, sesosok dengan suara tak asing itu berada tepat disampingnya gue. Duduk sambil tersenyum seraya khawatir, menutup buku biru yang baru saja selesai dibawanya. Didalam mimpi, itu memang suaranya.

Gue baru menyadari kalau tubuh gue penuh dengan keringat. Matahari memang sudah hampir sepenggalan, tapi AC dikamar gue tidak pernah mati. Malah, selimut gue hanya tinggal menutupi bagian bawah saja.

Jantung gue berdegup kencang. membuat sakit seluruh tubuh. Sontak, gue langsung memeluk Evan. Cowok itu yang duduk disamping gue, membacakan dongeng yang entah dimulainya darimana.

Pelukan itu sangat erat, sama seperti dalam mimpi, gue nggak mau melepaskannya. Berada dipelukannya itu membuat gue seketika berada di Neverland, dan jika melepaskannya, gue akan kembali pada kehidupan gue yang sesungguhnya.

Dia membelai rambut gue, sangat lembut. Gue tahu dia adalah orang yang selalu berhati-hati, dan mungkin ini adalah pertama kalinya gue merasa pelukannya begitu hangat. Evan mulai menyisir rambut gue dengan tangannya. Apa yang telah dilakukannya itu membuat gue teringat mimpi itu dan mulai terisak. Hingga gue bisa pastikan kalau bagian belakang kemejanya itu sudah lecek karena gue remas.

Mimpi buruk itu terlalu banyak mempengaruhi gue. Dan satu hal, mungkin ketika nggak ada yang memberitahu gue tentang sesuatu yang harusnya gue ketahui, mimpi yang akan menunjukkannya. Memperlihatkan secara langsung.

"Tadi Nyokap lo bilang kalau lo ngigau, terus minta gue dateng kesini." bisik Evan. Suaranya membuat gue tenang.

Tidak ada suara lain di Kamar gue selain AC dan jarum detik pada jam, sampai gue merasa tenang dan melepaskan pelukan Evan dengan perlahan.

Gue berusaha tersenyum, walau sulit. "Katanya gue ngigau apa?"

"Ngigauin gue. Terus waktu gue dateng, lo mulai ngigauin tentang buku ini." dia menunjukkan buku dongeng yang selalu disimpan didekat gue. "Jadi gue bacain dari awal, soalnya lo nggak bangun-bangun."

"Tapi, bukannya waktu itu lo bilang mending liat gue tidur daripada bangun." tukas gue, mengingatkan kejadian diatap Rumahnya saat malam Tahun Baru.

"Gue boleh narik kata-kata itu?" tanya Evan yang disambut dengan anggukan oleh gue. "Ya, kalau gitu gue tarik kata-katanya."

Kami tertawa, dan gue segera melihat jam yang menunjukkan pukul 11.30. Dan ini hari Selasa, harusnya kami sama-sama pergi ke Sekolah. Atau setidaknya Evan, otaknya nggak boleh disia-siain.

"Jadi lo nggak ke Sekolah cuma buat bacain cerita konyol itu ke gue?" membaca satu buku itu butuh waktu yang nggak sedikit.

Evan mengangguk. "Ya, tapi lebih banyak enggaknya. Dan buku itu nggak konyol buat gue."

"Apa tuh enggaknya? Baguslah kalau lo masih percaya dongeng." gue tersenyum miring, pura-pura tak peduli dengan buku yang telah membuat mimpi buruk untuk malam ini.

"Gue emang seharusnya berusaha buat jagain lo, sebelum kita bakal pura-pura nggak kenal lagi." kalimat itu cukup menyentak gue. Kalau diingat, kita memang bakal pura-pura nggak kenal setelah perjodohan ini dibatalkan. "Dan gue harus memanfaatkannya sebisa mungkin. Karena gue nggak mau merasa kehilangan buat yang kedua kalinya."

Tapi seharusnya bukan gue yang pantas mendapatkannya. Masih banyak cewek-cewek yang baik diluar sana, yang bisa menerima Evan dengan tulus. Walaupun dia nggak memiliki perasaan apapun ke gue, tapi gue merasa sangat nggak pantas karena bukan dia orang yang sedang mengganggu hati gue sekarang.

The AuthorWhere stories live. Discover now