12. Anastasia

332 20 0
                                    

"Kunyuk, lo berangkat sendirian?" Nabil dengan tergesa-gesa menghampiri gue, sambil mengunci mobilnya. Mobil yang sudah lama nggak gue tumpangi.

Gue menoleh, lalu mengangguk. "Iya, Evan sakit."

"Kenapa lo nggak bareng gue aja? Sumpah deh, sekarang gue udah nggak berani nyuruh-nyuruh lo buat nyetirin gue. He-he." tukasnya sambil menyeringai, lalu merangkul gue tanpa ragu.

Gue menyerngit. "Kok lo ngerangkul-ngerangkul?"

"Kan nggak ada Evan." ujarnya santai, tanpa menatap gue. "Kalo didepan Evan, gue takut aja dia cemburu."

"Cemburu kenapa?" tanya gue yang masih bingung.

"Cemburu kalo gue deket-deket sama lo. Bisa aja sih didepannya dia keliatan nggak suka sama lo, tapi diem-diem suka." terangnya, dengan suara yang amat pelan untuk seorang Nabil. Tapi dari nadanya, gue tahu dia hanya bergurau.

"Nggak bakal. Dia udah tahu busuknya gue." elak gue yang langsung terdiam. Entah kenapa, gue jadi berpikir kalau Evan adalah dirinya, yang diam-diam suka gue.

APA? nggak, nggak. Kenapa gue bisa berpikiran seperti itu. Mungkin gue aja yang kebanyakan berharap, berharap kalo dia suka gue. Berharap? Ah, kenapa juga gue harus mengharapkan seorang Nabil.

"Terserah sih, tapi gue yakin dia bakal kayak yang gue ucapin barusan." tanpa sadar, kami sudah berada didepan kelas gue yang dilewati pertama. Dia mengedipkan sebelah matanya yang membuat gue geli. "Catet kata-kata gue."

Setelah melepaskan rangkulannya, cowok itu kembali ke Kelasnya. Gue hanya bisa mencengo, menatap punggung datarnya yang menjauh dan menghilang di lorong selanjutnya.

"Liatin apaan lo?" seseorang menepuk punggung gue dari belakang. "Geografi kemarin sore, belum gue catet nih,"

Tanpa harus melihat wajahnya, gue tahu persis itu suara siapa, plus gue tahu persis kalimatnya yang hampir gue dengar setiap hari. "Cia? Lo serem banget sih, ada dimana-mana." gerutu gue, sambil berjalan masuk ke Kelas.

"He-he. Sori deh."

"Hemm." jawab gue, yang pikirannya entah kemana. Dengan malas, gue mengambil buku dari ransel yang belum dicuci semejak liburan, lalu memberikannya ke cewek di sebelah gue. "Nih Ci,"

Selama Cia menyalin, dan selama guru Matematika gue mengajar, selama itu juga gue nggak fokus. Pikiran gue, semuanya tentang Nabil dan Evan, dan gue nggak bisa menghentikannya. Semakin lama guru MTK gue ngomong, gue semakin nggak fokus.

Gue bersyukur karena pelajaran matematika hari ini hanya satu jam empat-puluh-lima menit. Lima belas menit itu bisa untuk mencari makanan di Kantin sebelum ramai, lalu gue makan, dan pikiran gue bakal jernih kembali.

Bersama Cia, gue membeli sate bakso dan semangkuk bubur ayam, ditambah es jeruk satu gentong. Semua penjual minuman disini nggak heran kok, mereka tahu kalau gue beli minuman nggak pernah nanggung dan nggak peduli berapa harga tambahannya.

Karena masih sepi, gue bisa memilih kursi sesuka hati. Memilih yang paling nggak banyak dilalui orang. Nggak ada percakapan, Cia sibuk chattingan bersama gebetannya yang sejak lama dimodusin. Kalo yang gue denger sih, mereka sama-sama suka. Kenapa nggak langsung pacaran aja? seenggaknya biar Cia nggak gangguin gue mulu.

"Ci, lo punya hubungannya apa sama Evan?" entah kenapa, gue refleks melontarkan pertanyaan itu. Sebetulnya, otak gue penuh tanda tanya saat pertama kali bertemu Cia di malam Tahun Baru.

Dengan sedikit tak acuh, dia menjawab. "Nggak ada hubungan apa-apa."

"Tapi kok lo bisa diundang sama Evan, padahal kalian nggak sodaraan." desak gue.

The AuthorWo Geschichten leben. Entdecke jetzt