18. Clues-II

301 13 2
                                    

Evan menarik gue menuju tepi Parkiran, sedan tua yang hampir menabrak gue membunyikan klakson. Cowok yang memegang gue dengan erat memberikan isyarat permohonan maaf kepada pengemudi mobil hijau itu, dan membawa gue ke mobilnya. Untuk yang kesekian kalinya, dia membuat gue terlihat seperti nenek-nenek tua.

Percakapan di dibalik bilik kami tadi, masih  berputar-putar di kepala gue.

"Aku mungkin kejam, tapi aku sendiri tidak sadar kenapa aku melakukkan itu. Aku yang membuat kejadiannya itu seolah-olah perampokan."

Mungkin ini terdengar konyol, gue bakal satu keluarga dengan seseorang yang telah berbuat keji terhadap Bokap. Semua ini lebih buruk daripada drama yang pernah ada.

Gue tidak bisa menyalahkan Evan, dia sama sekali tidak punya urusan tentang ini. Walaupun gue yakin dia mengerti beberapa hal dari hasil menguping tadi. Gue tak seharusnya percaya begitu saja pada Evan, tapi kenyataannya kami sama-sama tidak mengenal sebelum ini.

Nyokap tidak tahu bahwa Om Ian dan Evan masih satu keluarga, begitu juga sebaliknya. Dan aku juga tidak tahu kalau Nyokap dan Om Ian saling kenal. Apalagi Evan, tentang Wanita yang membuat Omnya menjadi setengah menderita.

Sesungguhnya, tidak ada yang patut disalahkan. Perjodohanlah yang membuat kami menjadi seperti ini. Gue tak habis pikir, Nyokap merasakan dampak buruknya, tapi dia seolah-olah melampiaskannya ke gue. Seolah-olah gue juga harus merasakan bagaimana susahnya menjadi dia.

Jadi sebetulnya, ini semua karena Nyokap. Gue bukannya ingin menjadi durhaka, tapi itu kenyataannya. Dia tidak pernah bersikap lebih baik daripada menyuruh gue makan dengan hanya menyodorkan piring berisi roti dan bersikap tak acuh.

Kasarnya, Gue seperti anak yang tidak diinginkan.

"Lo beneran nggak papa pulang ke Rumah?" Kalimat Evan itu membuyarkan lamunan gue, nadanya terdengar khawatir. Akhir-akhir ini dia tidak seperti Evan saat pertama kali bertemu.

"Iya." Sejujurnya, gue nggak tahu apakah sanggup menginjakkan kaki di Rumah. Beruntung saja kalau Nyokap kembali ke Kantor dan lembur. Mungkin Evan hanya tinggal membawa beberapa pakaian ke Ruamah gue.

Tapi kalau sebaliknya, gue juga nggak memiliki tempat. Ke Rumah Evan, itu sama saja mencari gara-gara kalau Om Ian berada disana. Satu-satunya yang bisa menjadi tempat aman adalah Rumah Nabil, tapi sejak kemarin-kemarin gue mengabaikan pesannya. Dan rasanya nggak lucu kalau memanfaatkannya disaat seperti ini.

"Sebetulnya gue punya Kondominium. Sekarang ditempatin sepupu gue." Mata gue yang memerah karena menahan tangis, berusaha menatap mata Evan dan berkata, "Mau." dengan mimik berterimakasih.

Selama gue bersama Evan, Nyokap nggak bakal curiga. Akhir-akhir ini dia juga nggak lagi menelepon rumahnya untuk memastikan apakah gue ada disana atau nggak.

Kondominiumnya terletak didaerah yang tidak mudah terjangkau, jalan masuknya lumayan jauh. Disekitarnya juga masih banyak kebon-kebon yang membuat gue bisa menghirup lebih banyak oksigen.

Sepupunya menyapa gue ramah, kami pernah bertemu sebelumnya di acara Tahun Baru. Dia lumayan asyik, dan tidak banyak bertanya tujuanku datang kemari. Cewek sembilan-belas tahun itu hanya senang karena ada teman di ruangannya.

"Jarang ada yang mau ngerjain tugas kelompok disini. Anak sekarang manja-manja, cuma jalan sebentar aja dari jalan raya alasannya seribu." ucapnya sambil tertawa. Cewek yang biasa dipanggil Kanna itu memang menjaga Kondominium
Evan sekaligus kuliah, karena keluarganya tinggal di Padang.

Sekitar pukul sembilan, gue bersih-bersih. Kanna meminjamkan gue kaos dan celana tidur. Evan yang gue kira bakal pulang, ikut bersih-bersih dan mengganti pakaiannya yang ada beberapa pasang di mobil.

The AuthorKde žijí příběhy. Začni objevovat