16. Lime And Potatoes

308 15 0
                                    

Seharusnya hujan tidak turun sederas ini, karena gue tahu ini adalah akhir dari musim penghujan. Evan menyetir dengan kecepatan standar, pelan untuk ukuran jalan seluas dan sesepi ini.

Untung saja tadi cowok itu menjemput tepat waktu. Saat Mobil hitamnya keluar dari gerbang Sekolah, hujan langsung mengguyur sebagian kota Jakarta. Otomatis Evan mematikan AC mobilnya, dan membiarkan hujan menghangatkan tubuh kami.

"Langsung pulang kan?" tanya Evan memastikan. Gue mengangguk. Memang hanya itu yang gue lakukkan sedari tadi, setiap kali Evan bertanya. Wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan, tapi dia memilih untuk tidak banyak bertanya.

Evan bukan tipe orang yang suka mengobrol basa-basi, atau berbicara banyak kalau tidak ditanya. Jadi tak ada percakapan yang berarti selama perjalanan, hanya suara lagu yang menemani kami selama di Mobil. Lagu yang sering sekali diputar akhir-akhir ini di radio.

Tell me something I need to know
Then take my breath and never let it go
If you just let me invade your space
I'll take the pleasure, take it with the pain

And if in the moment I bite my lip
Baby, in the moment, you'll know this is
Something bigger than us and beyond bliss
Give me a reason to believe it

'Cause if you want to keep me
You gotta, gotta, gotta, gotta got to love me harder
And if you really need me
You gotta, gotta, gotta, gotta got to love me harder
Gotta love me harder

Sebetulnya, gue nggak terlalu menikmati lagu sendu yang satu ini. Tapi liriknya cukup mewakili perasaan gue ke Nabil sekarang. Disebelah, Evan tidak mengganti saluran, seperti biasa. Dia tidak terlalu suka mendengar lagu yang terlalu sering diputar. Cowok itu membiarkan gue terhanyut kedalam lagu. Karena semakin lama, gue bersandar dan tertidur.

Suara rem tangan membangunkan gue. Tangan Evan yang sudah terlanjur terjulur untuk membangunkan gue, dikembalikannya lagi ke pangkuan. Hanya tinggal rintik-rintik yang jatuh dari genteng, membasahi tanah di halaman Rumah gue, membuat cekungan sepanjang teras Rumah yang kecil.

Setelah berganti pakaian di Kamar, gue turun untuk mencari makanan. Hawa dingin membuat gue kelaparan. Tak ada makanan apapun di meja, tapi Mba Atun meninggalkan catatan di kulkas,

Maaf Mba Dita, saya tadi pulang siang karena mendung. Jadi belum sempat masak lauk, tapi nasinya sudah ada.

Gue mendesah, mengambil kertas kecil itu dari sebuah magnet kulkas berbentuk kotak susu dan membuangnya. Masalahnya, gue sama sekali nggak bisa masak dan malas sekali keluar untuk membeli lauk dalam keadaan seperti ini. Dingin.

Sesaat, gue baru ingat kalau ada seseorang yang keberadaannya nggak selalu sia-sia. "Lo bisa masak nggak Van?"

Cowok yang sedang asyik menonton film lewat cenel luar negeri itu menoleh, mengikuti gerakan gue yang berjalan kearahnya. "Pernah bisa."

"Yaudah, masak yang lo bisa. Tapi jangan telor atau indomie. Bahannya ada di Kulkas. Gue laper." cowok itu melihat gue dengan ogah-ogahan.

Dia mengerutkan kening. "Lo nggak bisa masak?"

"Iya. Dan jangan ketawain gue." ucap gue ketus. Dia memang tidak menertawakan gue, tapi tersenyum seolah-olah melihat orang sinting yang baru saja lewat didepannya.

Evan berjalan ke dapur, membuka kulkas untuk memeriksa bahan yang ada. Walaupun gue nggak jago masak, setidaknya minuman bisalah gue buat. Kali ini gue memanfaatkan lemon yang tiggal setengah, teh jasmine dan Nata de coco. Entahlah, gue tahu ini bakalan aneh. Tapi selama ini, seaneh apapun minuman yang gue buat, pasti 4Terong selalu menghabiskannya.

The AuthorWhere stories live. Discover now