9. The Next Letter

370 16 1
                                    

Sebuah pesan dari LINE masuk saat gue sedang memeriksa jam di layar handphone.

Evan: Gue udah pulang.

Itu adalah pesan pertama yang Evan kirimkan ke gue. Dengan mata yang masih setengah terbuka, gue membalasnya.

Dita: Gue nggak bakal nyari kok. Pulang jam berapa?

Evan: Jam 6.

Dita: Oh iya, sori tadi abis subuh ketiduran.

Evan: Woles.

Suara ketukan pintu terdengar, segera mengalihkan pandangan gue dari layar. "Iya, masuk."

"Gimana acaranya?" orang yang gue kira Mba Atun masuk, ternyata Nyokap. Tumben ketok pintu dulu sebelum masuk.

"Flat." tukas gue malas.

"Nggak mungkin, kamu pasti seneng kan ketemu saudara-saudaranya yang banyak." Nyokap duduk didepan gue, dengan senyuman lebar. "Kamu kan suka main."

"Ya, lumayanlah. Seenggaknya aku nggak gaul sama Evan terus-terusan." keluh gue. Ini adalah sindiran yang seharusnya Nyokap tahu apa maksudnya.

Nyokap mendesah. "Mama tahu kamu masih suka main sama Nabil. Kalo sama cowok itu aja, kamu nggak bosen."

"Lagian kan rame, dia punya adik. Terus punya temen-temen yang kocak. Jadi, kita nggak cuma berduaan terus setiap hari."

Nyokap menggerlingkan mata. "Udah ah, Mama nggak mau denger. Tadi pagi Mama ketemu Evan dibawah, waktu dia mau pulang. Minta tolong ke Mama buat pamitin kamu."

"Dia baru bilang kok, di LINE." ucap gue sambil menguap.

Nyokap mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Kata Rosa, kalian deket banget. Udah nggak marahan kayak dulu. Mama udah bilang kan, pasti kamu bakal suka sama Evan."

Gue mendecak, membetulkan posisi duduk yang membuat pegal. "Aku emang udah berdamai sama Evan. Tapi bukan berarti aku suka sama dia."

Kalimat itu membuat gue berpikir, sebetulnya gue belum benar-benar berdamai. Tapi karena terlalu sering sama Evan, rasanya gue memang sudah berdamai beneran. Apa sih Dit, paling-paling juga karena dia dia satu-satunya orang yang paling dekat sama gue saat liburan.

"Nggak lama lagi kamu juga bakal nyaman sama dia." Nyokap gue mengedipkan satu matanya. "Mama kebawah dulu ya."

Gue mengangguk. Nyaman? Nyaman sama Evan, cih. Gue tahu dia baik, tapi entah kenapa sampai saat ini, gue masih mempertanyakan setiap hal-hal yang dia lakukkan.

Intinya, gue masih belum bisa membedakan mana yang benar-benar tulus dia lakukkan dan mana yang nggak.

***

Sebuah amplop putih mengalihkan pengelihatan gue yang ingin mengambil yoghurt di kulkas. Di meja pantry, surat itu tertumpuk tertumpuk rapi diatas tabloid yang biasa Nyokap baca.

Segera, gue mengambilya untuk diperiksa. Semenjak ada surat nyasar di Rumah Nabil-- yang ternyata dari bokap-- mata gue selalu jeli jika melihat amplop-amplop di Rumah.

Kepo, gue membukanya. Dan tahu kalau Nyokap sudah membukanya duluan, karena lemnya sudah tidak merekat dengan baik. Paling tidak, surat bisa memberikan gue sedikit informasi.

The AuthorWhere stories live. Discover now