6. Invitation

375 19 0
                                    

"Jadi gimana?" tanya gue sambil membetulkan rambut di cermin mobil.

Karena Nyokap harus mengurus acara Tahun Baruan di Kantor, hari ini gue dan Evan disuruh belanja ke supermarket langganan Nyokap. Kalau nggak ada cowok itu, gue juga nggak mau disuruh-suruh belanja.

Lagipula, udah seminggu ini gue nganggur di Rumah dan butuh udara segar. Mata gue bisa picek kalau setiap hari cuma nonton atau ngeliat Mba Atun dan Evan.

Evan mengetuk-ngetuk jarinya di setiran. "Mending gini aja, lo tetep main di Rumah Nabil. Dan gue dateng ke Rumah lo kalo Nyokap lo udah pulang."

"Nanti kalo Nyokap pulangnya tiba-tiba gimana?" tanya gue.

Evan menggaruk tengkuknya. "Itu mah gampang. Jadi gimana, setuju nggak?"

"Oke, lo juga bisa main sama temen-temen lo, kan?"

Evan mengangguk. "Ya, cukup adil." gue memberikan jari kelingking padanya. "Deal?" dengan desahan, Evan menyambut jari gue. "Deal."

Tak berapa lama, mobil hitam ini terparkir rapih dihalaman supermarket. Dan karena sudah hampir pukul dua belas, gue minta makan dulu. Perut kesanyangan gue ini harus diisi dulu sebelum belanja, kalau nggak pasti banyak makanan didalam sana yang menyegarkan mata.

Gue, sebagai cewek sejati hanya duduk bersandar sambil menunggu Evan memesankan makanan buat gue. Sekali-kali gue butuh dimanja-lah, walaupun sama orang yang nyebelin.

Gue perhatikan, Evan makannya sedikit. Bukan lebih sedikit dari gue, tapi benar-benar sedikit. Kalau di Rumah, dia hanya mengambil kurang dari seperempat pairing nasi dan satu jenis lauk.

Kalau di tempat makan, dia pasti memilih yang porsinya sedikit. Seperti sekarang, hanya sepotong burger dan air mineral. Sedangkan gue, ayam paha atas ditambah minuman soda dan kentang. Kenyang sampai sore, he-he.

"Diet lo?" ledek gue ke Evan, yang baru saja menaruh nampannya di meja.

"Nggaklah." dia menyodorkan makanan pesanan gue-- yang paling memakan tempat diatas nampan.

"Abisnya lo makannya dikit banget, kayak cewek." gue menyeringai.

"Kalo makan jangan ngomong." tukas Evan, lalu fokus dengan burger ditangannya.

"Iya pha-- uhuk, uhuk." gue tersedak. Kayaknya Evan langsung ngutuk gue setelah ngomong.

"Makanya, kalo dibilangin nurut. Untungnya cuma kentang." tukas cowok itu, sambil menyodorkan minumannya.

"Cuma kentang? Ini serauk tau." omel gue sambil mengelap mulut.

Evan mendesah. "Makanya, kalo makan dikit-dikit."

Gue hanya menggeram sambil meminum air mineralnya hingga setengah. Evan udah kayak Bokap-Bokap aja, kerjaannya nasihatin orang melulu. Mungkin dia udah kebelet jadi Ayah kali ya, gue mah cuma bisa do'ain aja dan berdo'a biar bukan gue jodohnya.

***

Sekali lagi gue berpikir kalau Evan mengutuk gue, setelah gue terpeleset di lorong bagian daging. "Baru dibilangin." desisnya, sambil menahan kedua lengan gue.

Selain sepi, untungnya Evan menahan gue, jadi keliatannya gue hanya terpeleset dan nggak kelihatan tolol. Akhirnya, dia mendorong trolley, sedangkan gue sibuk memperbaiki jepitan di sandal gue yang malah masuk diantara telunjuk dan jari tengah. Kocak.

Membawa serta Evan ke supermarket, sangatlah berguna. Dia samasekali nggak marah atau ngomel-ngomel kalau gue suruh mengambil ini-itu, nggak kayak si kunyuk Nabil. Dia juga nggak cerewet atau meminta sesuatu.

The AuthorWhere stories live. Discover now