14. Clues-I

321 17 1
                                    

Kasur Evan adalah yang terenak sejagat-- setidaknya dari semua tempat duduk yang pernah gue coba. Jadi duduk dipinggir kasurnya saja, sudah membuat gue tidak terlalu canggung. Benar juga kata Nabil, paling nggak gue bakal merasa risih kalau ketemu Evan bareng dia.

Gue membiarkan mereka berdua terhanyut dalam percakapan. Sebetulnya kehadiran gue nggak terlalu diperlukan untuk menjalankan rencananya Nabil. Cowok itu juga bercakap-cakap layaknya orang yang baru kenal. Membicarakan semua hal yang mereka ketahui.

Maksudnya, gue nggak melihat adanya percakapan yang terlalu mendalam soal Bokapnya Evan. Atau mungkin, Nabil sengaja menyimpannya untuk percakapan terakhir mereka. Entahlah.

Seorang pembantu rumah tangga, yang datang membawa minuman, Tanpa sadar menginterupsi percakapan Nabil dan Evan. Omong-omong, ini sirup keempat yang dibawakannya. Kali ini, wanita muda itu membawakan kami sekaligus satu botol sirup dan mengambil air dingin dari kulkas Evan. Dalam hati gue berteriak 'yes', walaupun lebih menikmati cemilan yang gue betak dari kulkasnya Evan.

"Makasih ya Mba." ucap Evan untuk kesekian kalinya, membuat gue urung untuk mengatakannya juga.

Percakapan yang baru saja terinterupsi itu, segera berubah menjadi kalimat ajakan yang dilontarkan Evan. Membuat gue kembali berteriak "Yess", yang kali ini benar-benar diucapkan.

"UNO stacko? Sebetulnya gue belum pernah nyoba main sih, tapi kayaknya seru." Nabil menampakkan wajah acuh-tak acuh. Gue tahu, dalam hati, dia pasti ingin sekali bermain game konsol. Matanya sudah tertuju ke permainan-permainan itu sejak tadi.

Melihat kekecewaannya, gue berkata. "Iyalah, masih mending daripada disuruh main bekel."

"Gue nggak punya bekel, lagian." komentar Evan, beranjak ke lemari dibagian bawah meja belajarnya.

Selama Evan mengorek-ngorek lacinya, gue hanya menyeringai ke arah Nabil, sambil mengunyah oats kismis. Dia malah menatap gue dengan tatapan menyalahkan. Heh, itu kan Evan yang ngajak, bukan gue.

Dalam sekejap, permainan itu sudah menjulang setinggi 40 senti. Gue lumayan ahli kalau soal permainan papan seperti ini, keluarga Nyokap memang tidak membiasakan anaknya bermain game konsol kalau sedang berkumpul.

Payah, Baru lima menit bermain, Nabil sudah menjatukan seluruh bagunan stacko yang kami buat. Dan pemenangnya seharusnya jatuh pada gue. "Bentar deh, gue kebelet pipis." ucap Nabil setelah tidak bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.

Dia berjalan menuju toilet, diikuti tatapan gue dan Evan yang bergerak bersamaan. "Duh, kloset jongkok dimana?"

"Di Kamar pembantu gue. Dia lagi nyetrika di balkon belakang." jawab Evan langsung, tanpa rasa curiga seperti gue. Nabil nggak pernah memilih-milih kloset, di Rumahnya juga memakai kloset duduk dan tidak masalah. Gue ingin protes tapi dia sudah terlanjur menghilang dibalik lorong kamar, yang menuju pintu.

Percakapan kembali berlangsung, kali ini antara gue dan Evan yang sibuk mendirikan kembali bangunan stacko. "Hari ini sepi Rumah lo." ucap gue.

"Semuanya lagi pergi." jawabannya tidak terdengar semangat.

"Lo nggak apa-apa kan kalo gue ngajak Nabil?" entah mengapa, gue merasa perlu menanyakan hal itu. Walaupun sesungguhnya gue tahu bahwa dia nggak bakal peduli.

"Nggak papa. Thanks udah dateng." balas Evan, nadanya bukan sekedar basa-basi.

Sejujurnya, kalau urusan sama Evan, gue memang selalu dengan setengah hati melakukkannya. Walaupun kami sudah berdamai, gue masih nggak bisa memperlakukannya sama seperti Nabil, atau-- katakanlah-- Trio Ncut. Gue tahu ini adalah kondisi berbeda, tapi seharusnya perlakuan gue bisa sama kayak memeperlakukkan cowok-cowok lainnya.

The AuthorWhere stories live. Discover now