13. Planning

333 16 3
                                    

Waktu yang paling gue suka dari semua jam Sekolah adalah, waktu dimana gue bisa makan. Kenyang nggak kenyang, yang penting makan. Di pelajaran ketiga, guru Bahasa Indonesia gue dipanggil Kepala Sekolah untuk waktu yang lama. Jadi dia hanya menyuruh kami membuat sajak. Karena gue pernah membuat sajak yang hampir semua kalimat masih bisa gue ingat, sepuluh menit gue sudah menyelesaikannya dan langsung cabut ke Kantin.

Cia, walaupun dia jago di pelajaran hitung-hitungan dan rajin mencatat, dia masih berpikir ingin menulis apa saat gue mengumpulkan kertas di meja guru. Pelajaran Bahasa bagi dia memang buruk, kadang kalau mengirimkan chat atau apapun yang bentuknya tulisan, nggak ngerti karena tanda bacanya nggak pas atau malah nggak pake samasekali. Ngomong juga, kadang masih nggak becus.

Jadi kali ini gue duduk sendirian dipojok Kantin, sambil menikmati Ramen level 5 dan es jeruk manis. Walaupun Ramen di Kantin gue bukan level restoran, tapi itu tetap menjadi favorit murid-murid termasuk gue. Terkadang, malah gue beli lagi dan minta dibungkus buat dimakan di Rumah.

"Heh Combro!" tiba-tiba sebuah suara dari balik tubuh gue terdengar, tepat diteliga. Lantas gue menoleh.

Bocah itu, bocah yang bikin gue hampir tersedak kuah bercabai, bocah yang bikin wajah gue merah karena kerongkongan yang pedas. Siapa lagi kalau bukan Nabil. Bukannya minta maaf, dia malah ikutan duduk disebelah gue.

Sebetulnya, entah kenapa gue senang dia datang disaat gue sendirian. Bangunan Sekolah gue yang tidak beraturan dan berurutan memang membuat kami jarang bertemu di Sekolah, paling-paling berpapasan, atau bertemu jika direncanakan.

"Sembarangan aja lo, gue punya nama dan nama gue bukan Combro." omel gue, setelah panas di leher gue mereda berkat es jeruk.

Nabil menyeringai, membuat gembungan di kedua pipinya seraya berkata. "Lagian makan mulu, nanti bulet kayak buntelan combro loh."

"IH!" refleks gue menampar pipinya. Menampar itu kata yang kasar, jadi lebih tepatnya menabok. Ya, karena memang nggak terlalu kencang. "Eh, sori-sori. Lagian, badan-kan badan gue, suka-suka guelah."

"Kok lo nampar gue sih!" ucapnya setelah beberapa detik baru menyadarinya.

Gue setengah hati ingin tertawa tapi juga kasihan. "Sori, refleks. Abisnya lo jelek banget kalo ngomongnya sambil kayak gitu."

Seriusan, tadi itu benar-benar nggak sengaja. Tangan gue melayang begitu cepat saat melihat wajahnya Nabil yang mendadak jelek. Ya emang menurut gue dia juga nggak cakep sih, tapi ya... jadi lebih jelek gitu. Padahal biasanya, wajah jelek Nabil biasa aja di mata gue.

"Lagian, muka kan muka gue. Ya suka-suka guelah." katanya dengan nada yang meyerupai kalimat gue tadi.

"Mau gue tampar lagi hah???" gue bersiap-siap dengan tangan yang berayun.

"Nggak ah, tamparan lo sakit tau." gerutunya. "Kasihan juga ya yang jadi pacar lo. Pantesan aja jomblonya lama banget."

"Nyadar diri dong lo." sindir gue sinis.

"Gue belum dapet yang cocok, yang pas buat gue. Kalo lo sih, emang nggak ada yang nembak." Nabil tertawa jahat. "Lagian pacaran tuh capek tau."

"Emang lo udah pernah pacaran, hah? Sotoy banget." tanya gue tepat ditelinganya.

"Kita harus baik jadi pengamat. Jadi, jangan sampai kena batunya dulu baru instropeksi. Lo ngerti kan maksud gue?"

"Bahasa lo njir." gue menatapnya sambil bertepuk tangan kecil. "Lagian, kayak tahu aja lo kalo ada yang nembak gue. Gue mah nggak suka pamer."

"Siapa?"

"Kepo aja sih."

"YANG NANYA..."

"IH!" gue langsung melemparkan sendok ke jidatnya, yang langsung merah-merah berbentuk oval. Tapi tak berapa lama, bentuk itu hilang dengan sendirinya.

The AuthorOù les histoires vivent. Découvrez maintenant