10. Words

361 15 0
                                    

Genangan air memenuhi setiap jalan yang kami lewati, bahkan di jalan utama sekalipun. Jika dihari-hari biasa hanya membutuhkan waktu empat puluh menit tanpa macet, kali ini gue harus bersabar untuk melakukkan perjalanan satu setengah jam ke Sekolah. Disertai hujan deras dan macet.

Hujan yang kemarin malam juga turun membuat gue tidur terlalu pulas, dan pagi ini membuat Evan menunggu selama lima belas menit didalam mobilnya.

"Sepuluh menit lagi Van, lewat jalan tembus aja didepan." tukas gue, seraya mengecilkan AC karena dingin. Rasanya gue ingin berdiam diri di Rumah, liburan kemarin benar-benar nggak seperti yang gue inginkan.

Tanpa suara, cowok itu bergegas mengikuti perintah gue. Sambil beberapa kali menyedot ingusnya karena flu, tahu gini tadi gue yang nyetirin aja. Jalan pintas yang kami lewati juga padat, tapi masih mending dibandingkan melewati jalan utama.

"Lo beneran mau sekolah Van? ingus lo nggak berenti-berenti tuh." tukas gue. Bukannya gue peduli, hanya saja dia terlihat parah dengan hidung yang terlihat kaku dan merah. "Nanti lo bisa minta jemput supir aja di Sekolah gue, biar mobilnya gue yang bawa pulang."

Cowok itu menggeleng. "Nggak, nanti gue tinggal ke UKS minta obat. Istirahat sebentar juga baikan."

Sekolah gue melewati Sekolahnya Evan, tandanya dia harus memutar lagi untuk sampai Sekolah. Dan gue nggak yakin ada jalan tembus, walaupun hanya menghabiskan waktu sepuluh menit.

"Beneran? Awas ya kalo nanti kenapa-napa." cerocos gue. "Kalo gitu biar gue bilang Nyokap, lo cabut duluan aja. Gue bisa kok pulang sendiri, nanti bisa ikut temen sampe halte busway."

"Lo nggak usah merasa nggak enak gitu, Dit." tukasnya dengan suara bendeng. "Gue bakal jemput lo kok, bakal ikut pelajaran sampe abis. Nanti tapi lo yang setirin."

Sekarang, segala sesuatu tentang Evan ada sangkut pautnya dengan gue. Begitu juga sebaliknya. Berarti, kalau dia kenapa-napa, gue yang harus bertanggung jawab. Sama kayak waktu gue sakit dan dia jagain di Kamar. Jadi gue ingin meluruskan, bukannya merasa nggak enak atau nggak peduli, hanya saja gue nggak mau sampai segitunya ngurusin dia kalau kenapa-napa. Lebih baik mencegah daripada menangani.

Menanggapi ucapannya, gue hanya mengangguk. Gue malas banyak ngomong lagi, toh Evan tetep kekeuh mau pulang bareng. Tapi seenggaknya, gue udah bertanggung jawab dengan nyetirin dia sampai Rumah.

"Thanks ya." ucap gue seraya turun, persis didepan pintu Sekolah.

Cowok itu segera menginjak pedal gasnya, keluar dari Sekolah. Gue tahu hari ini pasti telat, dan udah dijamin kalau bakal banyak orang yang senasib sama gue.

Tepukan tangan di bahu, membuat gue hampir melempar payung pinjaman Evan. Mobil Evan dan ACE hardware beda-beda tipis, dari mulai payung sampai senter ada di mobilnya. Beda banget sama gue yang hanya menyiapkan payung kalau ingat.

Dengan cengiran khasnya, Nabil menyapa gue. "Alhamdulillah, gue nggak sendirian."

"Ngagetin aja," omel gue seraya menjitak kepalanya yang agak basah. "Nggak sendirian apesnya, maksud lo?"

"Tau aja sih maksud gue." Nabil merangkul gue sambil terus berjalan. Nggak lama lagi juga bakal ketemu guru piket.

Ada sekitar dua puluh orang yang berdiri di lobi, sebagian duduk termasuk gue dan Nabil yang memaksakan diri duduk satu di satu kursi, berdua. Capek kali, nungguin antrian dihukum.

Hukuman di Sekolah gue, agak sedikit berbeda dibandingkan Sekolah-Sekolah lain, yang jelas hukumannya lebih berat dan capek. Biasanya untuk melakukkan satu hukuman, kami dibagi kelompok yang berdiri dari dua sampai tiga orang.

The AuthorWhere stories live. Discover now