24. Bubblegum

304 17 3
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul 8.25, yang berarti Evan akan sampai kira-kira lima menit lagi. Gue nggak mengerti apa yang keempat terong pikirkan dengan memilih waktu di pagi hari. Ini nongkrong, bukan Sekolah.

Dengan begitu, nggak ada waktu buat bangun siang di hari libur. Ya, walaupun gue tetap bangun paling telat jam 6, kecuali jika ada hal-hal tertentu, dan itu nggak termasuk di hari libur. Tapi tetap saja itu mengganggu rutinitas.

Nggak biasanya gue memilih-milih baju hanya untuk pergi nongkrong. Tapi hari ini entah kenapa, lemari gue sampai berantakan karena sibuk memilih pakaian. Padahal ujung-ujungnya gue hanya memakai crop-top berbahan kaos dan celana jeans.

Gue sedang mencari saluran TV yang seru, ketika handphone yang berada didalam tas berdering.

Baby I'm praying on you tonight, hunt you down eat you alive. Just like animals, animals, like animals, mals.

-Mama-

"Halo Dit, kamu dimana?" suaranya itu terdengar panik diantara kebisingan.

"Aku masih di Rumah." jawab gue seadanya.

"Yaudah kamu susul Mama ke persidangan ya, sekarang. Penting."

"Iya Ma, tapi kan--" kalimat gue terpotong ketika menyadari bahwa hal ini lebih penting daripada nongkrong dengan genk Terong. "Tapi Evan masih OTW. Aku nunggu dia aja."

Yang Nyokap tahu, pagi ini gue jalan sama Evan. Jadi nggak ada lagi alasan yang masuk akal buat menolak permintaannya itu. Lagipula urusan ini juga bersangkutan sama gue.

Dan yang gue tahu, tadi pagi dia pergi ke suatu tempat, yang sebetulnya gue nggak peduli kemana, tapi yang jelas tujuannya bukan ke pengadilan.

"Iya, Mama udah kasih tahu alamatnya sekalian. Siapa tahu Evan nggak tahu jalan." Nyokap langsung memutuskan sambungan begitu saja sebelum gue sempat bicara lagi.

Evan sudah tahu, tapi dia nggak ngabarin gue. Kebiasaan buruknya Evan, dia nggak pernah ngasih tahu hal penting lewat chat, semuanya harus secara langsung. Dan terkadang terasa menyebalkan karena gue butuh info secepatnya. Maka dari itu, gue beranggapan bahwa kontaknya di handphone gue nggak terlalu berguna.

Gue segera mematikan TV ketika mendengar deru mobil Evan yang sedang parkir didepan Rumah, lalu mengunci pintu rapat-rapat dan masuk kedalam mobilnya.

Rasanya jalan dari Rumah ke pintu gerbang aja seperti lari marathon.
Napas gue tersenggal-senggal, membuat Evan segera menyodorkan sebotol air mineral-- mengingat dia menyimpan segalanya didalam mobil.

"Tenang aja Dita, ini nggak bakal kayak yang lo bayangin." tukasnya, membuat gue segera berdecis. Kenapa Evan selalu saja seolah-olah bisa membaca pikiran gue.

Bagi pengendara baru seperti Evan, dia hafal rute-rute yang bahkan gue nggak pernah melewatinya. Kalau kami benar-benar pacaran, mungkin sudah banyak jalan tembus gue tahu di Jakarta. Bahkan dia tahu gedung-gedung atau bangunan yang menjadi patokannya.

Jadi mudah saja baginya membawa gue ke pengadilan. Bangunannya yang khas juga terletak dipinggir jalan besar, nggak susah menemukannya. Tapi hal itu membuat gue tidak memiliki waktu untuk bernapas dengan baik.

Evan menggenggam tangan gue, lebih tempatnya menyelipkan jari-jarinya pada jemari gue ketika kami masuk kedalam bangunan. Nggak peduli berapa banyak keringat yang ikut menempel telapak tangannya, gue berusaha menggenggamnya seerat mungkin.

The AuthorWhere stories live. Discover now