4. One Windy Afternoon

2K 402 35
                                    

Sudah hampir satu jam lamanya aku duduk di bangku panjang pekarangan belakang rumah sakit yang juga berfungsi sebagai sebuah taman sederhana. Dinginnya semilir angin bulan September tidak lagi kupedulikan. Aku hanya ingin menyingkir sejenak dari kamar rawat yang telah memenjaraku berbulan-bulan lamanya. Aku sudah muak melihat tabung plastik bening kecil berisi kapsul-kapsul berbau menyengat yang selalu berdiri di atas nakas, tembok bercat putih monoton, serta tirai tebal cokelat muda yang kerap kali berkeriak saat disibakkan di pagi hari, dan saat ditarik menutup di malam hari.

Aku menunduk memandangi sebuah cincin emas bermata ruby dalam genggamanku. Cincin pemberian ibuku yang juga merupakan satu-satunya barang berharga yang kumiliki saat ini.

Keresahan menenggelamkanku seperti air pasang. Aku akan segera meninggalkan rumah sakit, hal yang semestinya membuatku merasa lega, namun aku justru dicekik kemelut.

Aku tidak tahu ke mana harus pergi setelah ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi.

Kota kecil ini indah, namun membuatku merasa terasing dengan caranya sendiri. Aku tidak akan pernah bisa menganggap Woodstock sebagai rumah baru karena memang tidak ada yang bisa dijadikan tempat pulang. Tidak ada ruang yang akan membuatku merasa aman. Kematian ayahku merupakan sebuah pukulan final yang menegaskan bahwa aku sudah tidak memiliki apa pun yang tersisa di sini.

Aku tidak punya alasan untuk tetap tinggal.

Singapura juga demikian. Namun, setidaknya aku mengenal baik negeri yang sudah kutinggalkan jauh itu. Aku menghabiskan sepanjang hidupku di sana. Kembali adalah satu-satunya hal yang terasa masuk akal untuk saat ini. Aku masih memiliki sedikit tabungan⸺ angkanya sangat kecil, namun sepertinya cukup untuk bertahan hidup selama beberapa waktu sebelum aku kembali mendapatkan pekerjaan. Untuk membeli tiket pesawat... entahlah.

Tapi aku masih memiliki cincin ruby pemberian ibuku ini.

Namun menjual cincin ini adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Benda ini adalah satu-satunya pengingat akan ibuku. Cincin ini selalu membuatku merasa dekat dengannya.

Kupejamkan mataku, menahan desakan untuk menangis. Aku tidak tahu harus bagaimana.

"Di sini kau rupanya."

Aku terperanjat mendengar gumaman suara berat yang begitu mendadak. Suara maskulin yang terkesan tak asing.

Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu berasal, aku terkejut melihat Mark berdiri di belakangku. Lagi-lagi ia mengenakan pakaian serba hitam. Senyuman tipis terlintas di wajahnya. Sebuah senyuman miring, hampir seperti seringaian samar. Sepertinya itu adalah ciri khas Mark.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Mark sopan sembari mengerling ruang kosong di sebelahku setelah melihatku membeku selama beberapa detik.

Pertama kali aku bertemu dengan Mark adalah dua hari lalu. Dan kini ia di sini. Ia Kembali menunjukkan diri.

Aku mengangguk kikuk. "Tentu."

Mark duduk di sisiku, menyisakan jarak beberapa senti. Aroma mint dan sandalwood lembut kembali menyapa indera penciumanku, memberikan kesan familier yang ganjil.

"Aku tadi sempat panik karena kau tidak ada di ruanganmu," Mark bergumam. "Untungnya suster memberitahuku bahwa kau sedang berada di taman."

"Aku bosan sekali di dalam sana." Aku menjawab seraya menundukkan wajah. Entah mengapa, berada di dekat Mark selalu membuatku merasa gugup. Ia seperti memiliki aura mengintimidasi.

Mungkin kesan itu terbentuk akibat fitur wajahnya. Matanya cekung dan tajam, caranya menatap mengingatkanku akan elang. Tulang hidungnya juga tinggi, mancung sempurna. Garis rahangnya tegas, menambah citra raut yang keras.

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang