50. The Safest Home

1.1K 236 144
                                    

Aku duduk di tepi ranjang menghadap ke arah jendela. Tubuhku terasa segar dan ringan karena baru selesai membersihkan diri dengan handuk yang dibasahi air hangat dengan campuran minyak chamomile -meski aku harus teramat berhati-hati agar tidak mengganggu luka tusukan di punggungku yang masih diperban. Mark tadi mengajukan diri agar ia saja yang melakukannya, tapi aku diam-diam mendahuluinya saat ia masih di dapur untuk menyiapkan makan siang.

 
Tentu saja ia kesal ketika masuk ke kamar dan mengetahui bahwa aku sudah segar dan berganti pakaian.

Mark sempat menggerutu karena aku membersihkan diri tanpa bantuannya padahal aku baru keluar dari rumah sakit. Tapi sudahlah, aku melakukannya karena tahu ia juga lelah. Aku tidak ingin merepotkan.

Kutarik napas lega seraya memandangi cabang-cabang pohon ek di balik jendela. Pohon itu terlihat semakin meranggas di bawah langit gerimis. Senang rasanya bisa pulang setelah dirawat inap selama tiga hari. Terlebih, aku tidak sendirian lagi di rumah.

Kulirik Mark yang sedang berdiri di dekat lemari baju. Tangannya sedang memasang satu demi satu kancing kemeja hitamnya sembari bersiul. Ia juga baru selesai mandi. Ia terlihat jauh lebih segar sekarang karena sudah bercukur.

Ia sudah tidak kesal, tampaknya.

Aku geleng-geleng kepala sembari mengulum senyum lalu mengalihkan perhatianku dari Mark. Ia selalu punya kebiasaan itu, bersiul sambil mengenakan pakaian setiap selesai mandi.

Ia tidak tahu betapa aku merindukan itu saat ia pergi.

Kuseka lengan bajuku, sudah saatnya untuk membubuhkan salep lagi ke luka-luka cambukan di tubuhku agar lekas sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Sayangnya, salep yang diberikan dokter rasanya perih sekali. Entahlah, formulanya agak keras mungkin.

Aku meringis saat salep dingin menyentuh permukaan luka memanjang di lenganku. Bekas-bekas pecutan ikat pinggang itu sudah tidak sebiru sebelumnya, hanya tinggal kemerahan dengan sedikit lecet di permukaan kulit. Namun, aku masih merasakan sensasi perih seperti terbakar setiap kali luka-lukaku diobati.

Aku mengangkat wajah saat Mark mengambil tempat di sisiku lalu memusatkan perhatiannya kepadaku yang sedang sibuk mengoleskan salep ke kedua lengan. Tatapannya seperti menyimpan awan mendung karena iba melihat keadaanku.

"Biarkan aku membantumu," kata Mark pelan. Kedua matanya menatapku serius. Ia seperti tengah meminta izin, namun nada suaranya menyiratkan kesan bahwa ia tidak akan menerima penolakan.

"Tapi semua luka di kedua lenganku sudah selesai kuobati," terangku jujur sembari menunjukkan buktinya kepada Mark.

"Tapi yang di punggungmu belum, kan?" tanya Mark untuk memastikan.

Aku menggeleng pelan. "Belum."

Mark beringsut maju. Dengan teramat perlahan, ia mulai melepaskan kancing bajuku satu demi satu. Gerakannya tampak begitu berhati-hati, seolah khawatir ia bisa menyakitiku jika salah perhitungan sedikit saja.

Sementara itu, aku mencoba untuk tetap bernapas. Aku tiba-tiba merasa gugup.

Setelah selesai membuka kancing-kancingku, Mark merengkuhku semakin mendekat. Dibenamkannya wajahku ke dadanya yang bidang, tangannya perlahan menurunkan bajuku hingga ia bisa melihat luka di area punggung atasku, tepat dibawah bahu. Ia menyeka rambutku ke samping, kemudian dengan hati-hati mulai membubuhkan salep ke atas lukaku dengan telunjuknya.

Aku mengejang saat jari Mark yang berbalut salep dingin menyentuh lukaku. Semakin kubenamkan wajahku ke dadanya untuk menahan perih. Tanganku mencengkeram kemejanya erat-erat.

Mark langsung berhenti. "Sakit, ya?" tanyanya lembut sekali. "Tahan sedikit, Sayang. Sebentar lagi selesai."

Mark melanjutkan apa yang telah ditundanya. Kali ini, ia membubuhkan salep dengan lebih perlahan, gerakan jarinya ringan dan sehalus bulu.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now