35. Just Another Day in October

1.4K 280 130
                                    

Kuhampiri Mark yang sedang fokus melakukan pull up di halaman belakang. Nampan berisi kue mufin dan secangkir kopi berada di tanganku. Mark benar-benar membuatku terheran, di pagi yang dingin seperti ini bisa-bisanya ia hanya mengenakan kaos hitam berlengan pendek yang dipadukan dengan celana training.

Dan ia terlihat berkeringat.

"Sarapan dulu," kataku hangat, berusaha mengalihkan perhatian Mark.

Mark menghentikan kegiatannya dan melompat turun. Bahunya turun naik, napasnya agak terengah. Ia memandangi kue-kue mufin dalam piring dengan pandangan antusias. "Kau membuat kue pagi-pagi begini?"

Aku mengangguk sambil menyunggingkan senyum. "Semalam kau bilang bahwa labu cukup lezat jika dibuat kue mufin. Jadi, langsung kucoba saja resepnya pagi ini. Aku tidak yakin ini termasuk berhasil atau tidak."

"Wah, sepertinya lezat." Mark mencomot satu. "Tapi kau tak perlu repot-repot membawakan sarapanku seperti ini. Sebentar lagi aku juga selesai berolahraga."

"Sama sekali tidak repot. Sudah, makan yang banyak dan minum kopinya. Setelah itu kau mandi." Aku ingin Mark segera bergegas setelah melihat titik-titik keringat di dahi dan lehernya.

Mark menyuap dengan satu gigitan besar. Kepalanya manggut-manggut. "Enak kok." Ia mengulurkan kue mufin di tangannya kepadaku. "Cobalah."

Aku menarik wajahku ke belakang. "Aku tidak suka olahan labu."

Mark mengernyit. "Jadi kenapa kau buat mufin labu?"

"Karena kau sepertinya suka." Aku menjawab singkat.

Mark menatapku aneh. "Aku memang suka. Tapi kau juga harus makan sesuatu untuk sarapan." Ia berusaha menyuapiku lagi.

Aku menolak suapan itu lagi. "Nanti aku akan memanggang roti. Sekarang aku belum lapar."

"Oke. Jangan coba-coba lewatkan sarapan." Mark memperingatkan. Setelah melihat anggukanku, ia melahap lagi kuenya lalu mengangkat cangkir kopi dari nampan dan menyesap isinya perlahan.

Hatiku menghangat melihat Mark menyantap sarapan yang kubuat dengan bersemangat.

Tanpa kuduga, Mark bergerak maju dan mengecup keningku. "Terima kasih."

Aku berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan rona di kedua pipiku.

"Sejak kita menikah kau membuatku makan banyak. Aku bisa-bisa gendut gara-gara kau." Mark berseloroh.

"Sama sekali tidak akan jadi masalah seandainya pun kau gendut." Aku menimpali.

Mark tersenyum. "Oh, agar setiap hari kau bisa mendapatkan pelukan beruang?" Ia merentangkan kedua lengannya dan berusaha memelukku meski sedang memegang cangkir kopi.

Aku beringsut mundur. Menghindar. "Mark, mandilah terlebih dahulu." Kupasang wajah jengah yang terkesan sangat tidak alami.

Mark tersenyum miring. Kedua lengannya masih terentang di udara. "Jadi kau tidak mau kupeluk jika aku masih berkeringat begini?"

"Tidak mau." Aku menjawab pendek, berusaha menahan senyum geliku terurai. Aku berhasil mempertahankan wajah datarku.

"Tapi aku ingin memeluk istriku." Mark memasang wajah memelas.

"Mark," Aku melempari Mark tatapan datar. "Mandi."

Mark terkekeh. "Baiklah, baiklah." Ia menyesap kopinya sekali lalu mulai melangkah. Saat kukira ia sudah melewatiku, ia malah tiba-tiba memelukku erat tanpa sempat kuantisipasi.

"Mark!" Aku memprotes Mark yang masih memelukku gemas. Hampir saja aku mejatuhkan nampan di tanganku karena terkejut. Untuk melepaskan diri, kudorong pelan perutnya yang ternyata berotot lumayan keras saat kusentuh. Kaosnya terasa agak lembab. "Kau membuatku risih. Cepat mandilah."

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now