8. Hollow

1.5K 356 34
                                    

Hari masih gelap ketika aku terbangun dari tidurku yang tidak tenang. Sepanjang malam aku berulang kali terjaga karena mimpi aneh, deru hujan, dan bunyi ranting-ranting pohon ek mengetuk permukaan jendela akibat tertiup angin. Suhu udara menjadi dingin sekali. Aku mulai khawatir. Ini baru awal musim gugur. Hari-hari yang akan datang tentunya jauh lebih dingin dan lebih berangin dari ini.

Aku mengisi paru-paruku dengan sebanyak mungkin udara, berpura-pura lupa dengan kenyataan bahwa kekosongan dalam dadaku tidak akan terisi hanya dengan menjejalkan oksigen. Segalanya jauh lebih rumit dari itu.

Kutolehkan kepalaku untuk melihat keadaan di sampingku. Mark masih tertidur, lelap sekali. Kedua bahunya terlihat turun naik dengan gerakan pelan. Di bawah sinar lampu tidur, aku bisa melihat keletihan di wajah laki-laki itu. Hal yang tidak ditunjukkannya seharian kemarin.

Tatapanku kupindahkan ke langit-langit kayu. Seekor ngengat kecil mengepak-ngepakkan sayap di dekat bola lampu. Mataku perlahan digenangi air mata. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan sekarang hanyalah menangis.

Aku merasakan sesuatu menggumpal di tenggorokkanku dan mulai terasa sakit karena menahan isakan. Benakku membayangkan seandainya kejadian-kejadian buruk beberapa bulan belakangan tidak pernah terjadi, maka aku tidak akan berakhir di sini hari ini.

Dan aku tidak harus menanggung seluruh perasaan menyesakkan yang tak terjelaskan ini.

Menyadari isakanku hampir pecah, aku segera bangkit dengan gerakan sangat berhati-hari agar tidak membangunkan Mark. Kutapaki lantai kayu dengan gerakan mirip mengendap-endap lalu mengunci diri di dalam kamar mandi.

Kedua tanganku mencengkeram tepian meja wastafel. Bulir-bulir air mataku meluncur jatuh tanpa suara. Kepalaku berdenyut nyeri.

Aku rindu rumah.

Aku rindu kehidupanku yang dulu.

Baru satu malam aku berada di sini, dan aku tahu ini adalah waktu yang terlalu singkat untuk menarik kesimpulan; namun, pernikahan ini terasa tidak mudah. Kukira aku sudah siap dengan semuanya, namun ternyata tidak. Tinggal seatap dengan seorang laki-laki asing ternyata membuatku sangat tertekan. Terutama dengan kesan keterpencilan ini.

Keterasingan ini.

Meski Mark bersikap sangat baik.

Bahuku bergetar karena sudah lama berupaya memendam seluruh gejolak dalam rongga dadaku. Sepertinya aku tidak akan bisa menghadapi ini.

Aku ingin pulang.

Tapi itu tidak mungkin. Aku terikat dengan pernikahan ini. Dan memang tidak ada lagi tempat yang bisa kutuju untuk menyebutnya pulang.

Kubasuh wajahku dengan kucuran air keran. Aku tidak ingin mataku bengkak karena terlalu lama menangis. Seketika syaraf-syaraf di seluruh wajahku mengejang saat air yang suhunya dingin sekali menyentuh kulitku.

Pantulan cermin membuat hatiku mencelus. Wajahku terlihat sayu sekali dengan lingkaran gelap kemerahan di sekeliling mata. Kubasuh wajahku dengan air lagi, berharap itu dapat membuat wajahku terlihat menjadi lebih hidup. Aku juga menggosok gigi agar sentuhan rasa mint pasta pasta gigi membuatku merasa segar.

Setelah mengeringkan wajah, aku menatap pantulanku lagi selama beberapa saat. Aku menarik napas, lalu memutuskan untuk meninggalkan kamar mandi.

Mark masih tertidur pada posisinya semula ketika aku kembali ke dalam kamar. Kulirik alarm digital di atas nakas, baru pukul lima kurang sepuluh. Aku tidak berniat untuk tidur lagi, jadi aku memutuskan untuk meninggalkan kamar.

Aku merasa terkejut melihat keadaan rumah yang gelap gulita. Hanya ada lampu dinding di samping tangga yang memandu langkahku menuruni undakan-undakan kayu berderit.

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang