20. Another White Room

1.2K 312 24
                                    

Kedua kelopak mataku menggeletar beberapa saat sebelum akhirnya perlahan membuka. Cahaya menyilaukan yang menyentuh retina sempat membuatku menyipit lagi. Ruangan di sekitarku senyap dan berwarna serba putih. Aku menyadari tubuhku terbaring di atas sebuah ranjang sempit sejajar dengan pintu.

Kuedarkan pandanganku, perlahan otakku mulai bisa menyimpulkan bahwa aku sedang berada di rumah sakit. Tapi tidak ada siapa-siapa di ruangan ini. Aku sendirian.

Kuhirup udara dalam-dalam, hidungku tidak dapat mencium aroma apa pun. Padahal, biasanya bau obat-obatan dan aroma khas pembersih lantai antiseptik adalah yang paling akrab dengan rumah sakit. 

Sebenarnya apa yang terjadi padaku?

Tarantula. Ya, aku digigit tarantula. Mungkin itulah sebab terganggunya indera penciumanku.

Mark. Di mana Mark?

Aku menggeliat dan perlahan merayap turun dari ranjangku. Entah mengapa tubuhku terasa begitu ringan. Rasa-rasanya aku bisa melayang tertiup angin kapan saja.

Kutapakkan kakiku pada permukaan lantai porselen yang dingin dengan hati bertanya-tanya ke mana perginya Mark.

"Mark?" panggilku sambil celingukan.

Tidak ada sahutan.

Aku memutar kenop logam yang menempel di daun pintu dan melongokkan kepalaku ke luar untuk melihat keadaan. Di luar juga sama sepinya. Hanya ada deretan bangku kosong tak berpenghuni.

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor panjang dengan hanya ditemani deretan lampu yang menempel di plafon. Keheningan yang menyelubungi membuat degup jantungku terdengar jelas di telingaku sendiri.

"Mark?" panggilku lagi. Suaraku parau, seperti ditelan udara. Mark adalah orang yang paling ingin kulihat saat ini, melebihi siapa pun. 

Tapi mengapa ia meninggalkanku sendirian?

Aku terus berjalan menyusuri koridor demi koridor dan tak menjumpai apa pun selain kesunyian menggigit. Aneh. Kemana perginya semua orang? Bagaimana mungkin aku tidak melihat satu orang pun di rumah sakit sebesar ini?

Aku terus memanggil-manggil Mark dan mulai merasa kalut karena tidak dapat menemukannya di mana pun. Kesendirian yang kurasakan mulai terasa mencekik. Aku berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri agar tidak panik.

Kuhentikan langkahku ketika menemukan sebuah pintu di ujung koridor. Aku menoleh ke belakang selama beberapa saat sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut. Setelah daun pintu mengayun terbuka, hal yang pertama kulihat adalah kegelapan pekat, sangat kontras dengan keadaan tempatku berdiri. Tanpa banyak berpikir, aku melangkah ke luar dan berharap apa yang kulakukan bisa mempertemukanku dengan Mark.

Kususuri halaman belakang rumah sakit dengan kaki telanjang. Bulan purnama bercahaya pucat menyembul di antara awan kelabu yang bergumpal-gumpal. Pemandangan di sekitarku tampak seperti hutan yang meranggas. Aku dikelilingi pepohonan tua yang memiliki batang besar dan berbonggol-bonggol. Cabang-cabang keringnya yang kurus tampak seperti jemari setan yang menggapai-gapai langit. Pemandangan seperti ini mungkin menarik minat Mark untuk memotret, hal itu menguatkan harapanku untuk bertemu dengannya di sekitar sini.

Seiring aku berjalan, sayup-sayup suara lolongan serigala yang terdengar pilu mengusik gendang telingaku. Hal itu seketika membangunkan desiran adrenalin yang sedang tertidur lelap dan membangkitkan gelombang ketakutan yang sedari tadi berusaha kutahan.

Seekor burung hantu bertengger di puncak pohon beberapa meter dariku, mengawasi langkah kakiku dengan mata besar bulatnya yang liar. Sesekali, burung itu mengeluarkan bunyi 'uhu-uhu' pelan yang entah mengapa membuatku jadi semakin merinding. Sejurus kemudian, burung itu terbang menjauh setelah angin kencang menghempas pepohonan, menggesekkan ranting-ranting kering yang mengeluarkan bunyi aneh.

In A Rainy Autumn [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz