45. An Empty House

949 229 255
                                    

Tanganku mencengkeram gelas berisi air putih dengan tangan agak gemetar karena seharian ini perutku belum terisi apa-apa, ditambah dengan keadaan kurang tidur, kelelahan, dan duka. Seusai mengunjungi makam Mark, Mr. Anderson langsung mengantarkanku ke kediaman keluarga yang membesarkan Mark selama di New Orleans dulu, rumah bibinya.

Ruang tamu rumah bibi Mark masih kental dengan atmosfer kesedihan. Ternyata perempuan yang dipanggil Bibi Lauren itu telah berpisah dengan suaminya yang abusif dan kini tinggal bersama mantan atlet baseball yang pernah diceritakan Mark waktu itu.

Masih ada beberapa orang asing berpakaian serba hitam di sini, juga dua orang polisi berseragam lengkap. Bunga-bunga ucapan belasungkawa ikut berebut sesak. Nathan Anderson juga masih berada bersama kami, sedang membicarakan sesuatu dengan para polisi dengan raut serius.

"Makanlah sesuatu, Clavina. Kau terlihat pucat sekali." Bibi Lauren kembali mengulurkan piring berisi kue manis kepadaku.

Aku menggeleng. "Terimakasih, saya tidak begitu lapar," tolakku halus dengan suara parau.

Dahi Bibi Lauren yang halus karena suntikan botox mengernyit kaku. Ia meletakkan kembali piring kue ke atas meja di hadapan kami. Sejurus kemudian, matanya melirik cincin yang melingkar di jari manisku. "Aku tidak tahu bahwa Mark sudah menikah jika Nate tidak memberitahuku. Ia juga baru tahu setelah menemukan kontak yang terakhir dihubungi Mark yang diberi nama 'Lady Evano' di ponselnya. Dengan sebuah emoji hati dan cincin."

Mataku kembali buram oleh air mata. Hatiku terenyuh mendengar itu. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu siapa nama kontakku di ponsel Mark karena aku memang tidak pernah menyentuh benda itu. Mark pernah bertanya mengapa aku tidak sekali pun meminta untuk memeriksa ponselnya, jawabanku sederhana; aku ingin Mark tetap memiliki privasi. Aku tidak ingin seluruh aspek hidupnya kucampuri. Aku mempercayai Mark sepenuhnya.

"Sudah berapa lama, Nak?" tanya Bibi Lauren lembut.

"Baru dua bulan," jawabku pilu.

"Ohh..." Perempuan paruh baya di sampingku itu seketika menunjukkan raut iba.

Kita tidak akan pernah siap dengan yang namanya kehilangan, namun... haruskah selekas ini ia pergi?

Kuseka bulir bening di ekor mataku dengan punggung tangan. Kepalaku semakin berdenyut nyeri.

"Maaf," Bibi Lauren kembali bersuara. "Prosesi pemakaman Mark sudah usai sebelum kau sampai. Aku tahu kau seharusnya bisa melihat Mark untuk yang terakhir kali."

"Saya yang tidak bisa tiba tepat waktu," balasku lirih. Sentakan rasa getir mencekikku. Aku kecewa dengan semuanya. Termasuk diriku sendiri.

"Selama kau berada di New Orleans, kau tinggal di sini saja, Clavina." Bibi Lauren menyarankan dengan suara keibuan. "Kau juga anggota keluarga kami."

Kutatap Bibi Lauren dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, Bibi. Tapi saya sudah menyewa penginapan untuk malam ini. Saya akan kembali ke Woodstock besok pagi."

Kilat terkejut muncul di mata Bibi Lauren. Kepalanya menggeleng, menggoyangkan rambutnya yang berpotongan pendek. "Tidak boleh begitu. Kau sudah sampai di sini, kau harus menginap. Nanti kita atur pembatalan dengan pihak penginapan. Tolonglah, Nak." Ia memohon. "Yang punya hubungan kekerabatan dengan Mark memanglah mantan suamiku, tapi aku menyayangi Mark seperti putraku sendiri. Meski dulu aku jarang berada di rumah untuk menghabiskan waktu bersamanya. Kasihan Mark, sejak kecil ia sering terabaikan karena keegoisanku dan mantan suamiku."

Mark tidak pernah merasa benar-benar dianggap ada, itulah alasan mengapa ia sangat dekat dengan ayahku. Pengganti sosok orangtua yang tidak pernah dimilikinya.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now