39. Poison and The Vow

1.3K 266 156
                                    

Kedua mataku menatap lurus kertas-kertas dan sekumpulan dokumen yang berada di atas meja ruang tamu. Tanganku memegangi bolpoin dengan perasaan campur aduk, sementara lembaran kertas dengan namaku tertulis di dasarnya menunggu untuk kububuhi tanda tangan.

The New Official Owner of The Harris Printing

Clavina Rose Harris

Entah mimpi apa aku semalam. Pagi ini, tanpa kuduga, seorang notaris tiba-tiba datang dan mengatakan kepadaku bahwa kepemilikan penuh atas bisnis percetaakan ayahku dilimpahkan kepadaku. Aku terkejut, begitu juga dengan Mark. Tidak ada satu pun di antara kami yang menduga bahwa ini akan terjadi.

Dokumen lain yang dibawa notaris bernama Mathilda Stunton ini menyatakan bahwa rumah milik ayahku menjadi milik istrinya, Samantha Lawrence Harris. Sementara adik seayahku, Abigail Phoebe Harris, diwarisi tanah di wilayah Burlington yang bisa dikatakan punya prospek bagus untuk pembangunan.

Kutandatangani dokumen di hadapanku dengan perasaan gamang. Entahlah, ketika yang seumur hidup kubutuhkan dari ayahku adalah kehadirannya, segala bentuk hal materil yang berkaitan dengannya, yang diberikan kepadaku dengan begitu mendadak, justru membuat dadaku sesak.

Mathilda Stunton bernapas lega setelah melihatku menandatangani semua dokumen yang dibutuhkannya. Air mukanya menunjukkan bahwa memang butuh upaya keras baginya untuk menangani perkara pembagian warisan ini, terutama karena ayahku meninggal secara mendadak. Tidak ada surat wasiat. Tapi Samantha mengatakan kepada notaris bahwa ayahku memang pernah mengutarakan niatnya untuk mewariskan bisnis ini kepadaku suatu hari. Jadi, itulah yang menjadi ketetapan.

"Cukup sulit untuk mencari keberadaan Anda sebelum Mrs.Harris mengatakan bahwa anda sudah menikah dengan suami Anda," ujar Mathilda Stunton. "Kami sempat datang ke rumah sakit tempat Anda pernah dirawat untuk mengumpulkan data-data Anda. Ada yang mengatakan bahwa Anda kembali ke Singapura, tapi ternyata itu tidak benar." Pandangan wanita itu beralih ke Mark. "Jadi, kami mendatangi rumah anda, Mr. Evano. Kami mendapatkan alamat anda dari Mrs .Harris."

Kami berbincang-bincang singkat di ruang tamu. Mathilda Stunton menyampaikan rasa belasungkawanya atas kematian ayahku. Ia juga ingin sedikit bertanya tentang peristiwa kecelakaan pesawat waktu itu, namun ia seperti mengurungkan niat saat melihat gerak-gerik Mark.

Setelah menghabiskan tehnya, Mathilda Stunton langsung berpamitan dengan membawa dokumen-dokumennya yang dibawa tadi, dan meninggalkan beberapa untukku. Aku dan Mark sama-sama mengucapkan terimakasih sebelum ia pergi.

"Kau baik-baik saja?" tanya Mark saat aku kembali duduk di sofa ruang tamu. Ia mengusap lembut pundakku. "Kau tampak cemas."

Kuhela napas panjang. "Entahlah, aku takut aku tidak bisa bertanggung jawab terhadap bisnis ayahku. Ini terlalu mendadak sekali."

"Jangan khawatir, kau pasti bisa melakukannya. Aku percaya kepadamu." Mark melemparkan senyum menyemangati. "Aku akan melakukan apa yang kubisa jika kau memerlukan bantuan."

"Apakah dengan begini berarti aku harus bolak-balik ke kota?" tanyaku cemas.

"Tidak juga, kau punya banyak karyawan yang kompeten di sana. Kau akan berkutat dengan laporan dan penetapan kebijakan, menentukan jadwal pertemuan paling tidak sebulan sekali, dan melakukan inspeksi mendadak, begitulah yang dilakukan ayahmu. Beliau cukup sibuk dengan jadwalnya sebagai dokter, tapi semuanya masih aman terkendali. Kau juga pasti bisa."

Aku menatap Mark horor. Itu tetap bukan hal sederhana.

Mark malah tersenyum geli melihat ekspresiku. "Aku percaya dengan gadis periku." Ia mengacak-acak rambutku gemas. "Aku akan menemanimu datang ke kunjungan pertamamu. Kau akan bertemu dengan Ryan Stone, manager di sana, ia akan banyak membantumu."

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now