46. Lonely Road

894 220 191
                                    

Ini adalah hari keempat sejak Mark pergi untuk selamanya. Aku terbangun saat hari masih jauh dari pagi, dan hal pertama yang menyambut kesadaranku adalah kehampaan pekat di sekujur rongga dada. Aku mencoba bernapas, ada sentakan rasa sesak yang sulit untuk kujelaskan. Seperti terdapat sesuatu yang rusak berat dalam diriku.

Aku membalikkan posisi berbaringku menjadi menghadap sisi tempat tidur yang biasanya ditempati Mark.

Kosong.

Gelenyar pilu menyengatku dengan tajam. Kuusap bantal Mark yang tidak ditempati sang pemilik beberapa hari gelap belakangan ini. Dingin sekali.

Aku mulai terisak. Mark... pulang...

Menit-menit berlalu tanpa sedikit pun aku berniat bergerak. Tanda kehidupan yang kumiliki saat ini hanyalah detak lemah jantungku dan air mata yang tidak pernah mengering dari pipi. Selain dua hal itu, aku seperti sesuatu yang sudah lama mati namun dipaksa untuk tetap berjalan di atas bumi.

Beberapa hari belakangan ini, aku terjebak dalam siklus mengerikan yang mungkin akan membunuhku secara perlahan. Aku selalu terbangun saat hari masih gelap sekali, disambut dengan kekosongan dan rasa kehilangan mencekik sementara satu-satunya hal yang dapat kulakukan hanyalah menangis tersedu hingga matahari naik hampir ke tengah langit. Dan saat malam menjelang, aku merasakan kesepian dan kerinduan tak terelakkan yang membuatku menangis sejadi-jadinya hingga aku kelelahan dan akhirnya jatuh terlelap. Begitu saja berulang-ulang.

Pun hari ini, tentu saja. Aku benar-benar tidak akan beranjak dari tempat tidur jika saja aku tidak merasakan tubuhku mulai gemetaran karena perutku menuntut untuk diisi. Aku bisa saja memilih tidak peduli, namun aku sudah berjanji kepada Mark untuk tegar dan melanjutkan hidup, tidak peduli seberat apapun rasanya.

Meski berulang kali aku harus jatuh bangun.

Meski terkadang aku masih tidak bisa menerima apa yang terjadi, meski terkadang aku masih marah terhadap takdir.

Meski terkadang aku merasa ingin mati saja.

Aku tetap berjuang, Mark. Kau lihat, 'kan?

Aku istri yang baik, 'kan?.

Aku tidak mengecewakanmu, 'kan?

Kuseret tubuhku agar merosot turun dari tempat tidur. Saat aku berdiri, aku meringis merasakan keram pada perut bagian bawah karena ini adalah hari pertama siklus bulananku. Aku kecewa sekali hingga aku menangis saat menyadari bahwa siklusku masih normal.

Seandainya saja aku hamil, aku tidak akan merasa begitu kesepian seperti ini.

Jika saja aku punya Mark kecil di dalam diriku, aku akan merasa punya teman. Aku akan merasakan ikatan dengan ayahnya.

Tapi semesta begitu jahat.

Aku dibiarkan sendirian.

Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Selama beberapa saat, aku mengguyur tubuhku dengan air hangat untuk meredakan nyeri punggung dan keram perutku. Rasa sakit pada tubuhku memang memudar perlahan-lahan, namun tidak dengan remuk redam dalam diriku.

Rasa perihnya tetap tidak tertolong.

Seusai mandi, aku tidak mengeringkan rambutku dengan sempurna. Aku langsung menyambar sweter kedodoran dan mengenakannya, kemudian turun ke dapur.

Kukeluarkan sekotak susu dari lemari pendingin dan langsung menuangkannya ke dalam gelas, tidak benar-benar sampai penuh.

Selama beberapa detik, aku hanya memandangi susu dalam gelasku. Tubuhku menuntut asupan nutrisi, namun mulutku seperti memberontak untuk mencecap apapun.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now