21. Critical Minutes

1.3K 297 34
                                    

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur setelah terjaga akibat mimpi buruk. Aku tidak bermimpi lagi, namun tidurku terasa sangat tidak lelap. Entah sudah jam berapa sekarang, ingin sekali rasanya aku membuka mata, namun kelopakku terasa begitu berat. Tulang-tulangku nyeri dan tubuhku menggiggil merasakan panas dingin.

Aku menggeliat gelisah antara sadar dan tidak. Kurasakan ada tangan dingin menyentuh dahi lalu sekitar leherku, membuatku merasa nyaman. Sejurus kemudian tangan itu menghilang, meninggalkan rasa kecewa dalam diriku. Aku ingin hawa sejuk itu kembali menyentuh kulitku.

Aku mendengar ada yang menekan tombol panggil. Setelah itu, telingaku menangkap langkah-langkah kaki memasuki ruangan.

"Suster, tolong lakukan sesuatu! Suhu badannya tinggi sekali!" Sayup-sayup terdengar suara Mark sedang panik.

Beberapa detik kemudian, aku merasakan ada tangan lain menyentuh keningku, lalu sebuah benda berbentuk seperti pipet kecil dimasukkan ke dalam mulutku dan dicabut lagi beberapa saat kemudian.

"Ia mengalami demam tinggi." Terdengar suara seorang wanita berujar. "Saya akan panggil dokter, daya tahan tubuh istri Anda masih cukup lemah dan tidak sanggup menahan efek racun."

"Tolong..." Suara Mark terdengar lagi, nada frustrasi mengental di sana.

Beberapa detik setelahnya, aku mendengar orang lain masuk ke ruangan. Ia memeriksa detak jantung dan nadiku secara seksama. Setelah itu, seperti ada jarum tajam menusuk pembuluh darahku dan menginjeksikan cairan yang aku sendiri tidak tahu apa.

Segalanya memudar selama beberapa saat, namun setelah itu aku merasakan jantungku berdegup liar. Rongga dadaku terasa menyempit dan aku mulai kesulitan bernapas.

"Oksigen!"

Aku tidak tahu siapa yang baru saja berseru. Yang kurasakan selanjutnya adalah; sesuatu dipasang di sekitar hidung dan mulutku yang pelan-pelan membantuku bernapas. Namun, rongga dadaku masih terasa sakit akibat jantung yang bertalu-talu.

"Dok, degup jantungnya terus naik." Suara wanita tadi kembali terdengar.

"Lakukan sesuatu, Dok!" Mark menyambar dengan seruan putus asa, sementara aku mulai merasakan bagian depan pakaian longgarku dibuka kemudian benda-benda aneh dipasang di dadaku. "Apa saja. Saya mohon. Saya tidak ingin kehilangannya lagi."

"Tenangkan diri anda, Sir. Kami akan mengusahakan yang terbaik." Suster berusaha mengendalikan Mark.

Kelopak mataku menggeletar mendengar apa yang terjadi.

Mark....

Aku berusaha memanggil nama itu. Namun, tubuhku lumpuh total.

 Tiba-tiba, sesuatu yang bertegangan tinggi menyentakku. Sekujur tubuhku terasa sakit. Kesadaranku mulai memudar. Sentakan kedua mengejutkanku saat alat pacu jantung kembali menyentuh dadaku. Rasanya seperti dibakar dari dalam. Aku bersiap-siap menahan sentakan ketiga yang bisa saja membunuhku karena tubuhku sudah terasa lemas sekali.

Tapi itu tidak terjadi. Mereka berhenti melakukannya.

Tubuhku seperti mati rasa, namun napasku mulai teratur. Beberapa menit berlalu dalam keheningan hingga akhirnya telingaku mendengar samar-samar suara Mark berpamitan untuk menunaikan shalat subuh dan meminta suster untuk tetap menjagaku selama ia melakukannya.

Yang terjadi berikutnya hanyalah sesuatu yang mirip seperti kekosongan, aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Seluruh tubuhku kebas dan aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali bernapas.


*****

Keesokan harinya aku siuman. Demamku sudah turun meskipun tubuhku terasa lemas luar biasa. Aku ngeri melihat selang infus menembus punggung tanganku. Terlihat memar kebiruan agak bengkak di sekitar tusukan jarum.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now