28. The Visit

1.4K 281 65
                                    

"Kau bermain Ice Hockey?" tanyaku dengan nada terkejut saat Mark mengatakan bahwa keluarga dari salah satu rekan satu timnya mengundang kami untuk makan siang bersama. Segera kututup buku di tanganku yang bersampul keras, menegakkan posisi duduk, lalu memusatkan perhatian kepada Mark yang kini duduk di tepian meja baca di hadapanku sembari bersidekap.

Ya ampun, berapa banyak hal yang masih belum kuketahui dari suamiku sendiri?

Hari ini Mark bersikap agak aneh. Sejak bangun tidur, ia terus mengekoriku ke mana saja. Bahkan, perpustakaan yang biasanya menjadi sepetak ruang untukku tenggelam dalam duniaku sendiri, tidak lagi terasa demikian. Mark memutuskan untuk ikut masuk dan tidak melakukan apa-apa, hanya menemaniku membaca. Sesekali, matanya memandangiku dengan pendar yang membuat udara ruangan seperti memanas. Jenis tatapan yang sama persis kulihat saat kencan semalam.

Intens. Kental dengan gelagat penasaran, mensyukuri, sekaligus teramat menginginkan. Semua sama besarnya.

Mark... bagaimana mungkin aku bisa berkonsentrasi membaca jika kau berada di sini bersamaku dengan tindak tanduk seperti itu?

"Hanya pemain amatiran." Mark mengklarifikasi. "Aku hanya sesekali bermain Ice Hockey saat musim dingin hanya untuk bersenang-senang, bukan untuk perlombaan serius. Aku bukan atlet, hanya tergabung dalam tim lokal kecil-kecilan. Di tim ini aku bertemu Leo Burton dan kami berteman baik beberapa tahun belakangan. Keluarganya ramah sekali. Mereka selalu mengundangku pada acara-acara besar seperti Natal dan Thanksgiving. Hanya saja, aku tidak selalu bisa datang karena jarak rumah keluarga Burton memang cukup jauh."

"Wah, aku ingin sekali melihatmu bermain Ice Hockey." Aku berdecak sembari menstabilkan laju napasku.

Sudut bibir Mark berkedut, membentuk sebuah senyuman malu-malu yang jarang sekali kulihat. "Tunggu sampai musim dingin kalau begitu. Tapi jangan terlalu banyak berharap. Sudah kukatakan aku hanya pemain amatiran."

"Aku tidak mempermasalahkan itu. Aku hanya ingin melihatmu bermain." Sebenarnya aku sama sekali tidak suka menonton pertandingan olahraga, namun membayangkan Mark meluncur di atas permukaan es sembari membawa tongkat pemukul membuatku terkagum-kagum sendiri. Mungkin mulai sekarang menonton Ice Hockey akan menjadi sebuah pengecualian baru.

"Jadi, apa kau tertarik untuk pergi? Rumah keluarga Burton berjarak sekitar 50 menit dari sini." Mark membuyarkan lamunan singkatku.

Aku langsung mengangguk setuju. Pergi ke suatu tempat akan menghindarkanku dari sesak napas akut atau serangan jantung dadakan karena Mark. "Tentu."

Aku mengutuk-ngutuk dalam hati karena hingga hari ini, aku tetap tidak bisa rileks berada di dekat Mark. Dan semenjak mengetahui perasaan satu sama lain, Mark semakin menunjukkan gerak-gerik sedang berusaha semakin 'mendekatiku'. Kesan kasual di antara kami sudah sepenuhnya lenyap belakangan, digantikan dengan sesuatu yang mengarah ke romantisme.

Sialnya, aku sangat payah dalam urusan semacam itu.

"Baik, akan segera kukabari mereka." Mark berujar. "Tapi kau harus kuperingatkan, Leo itu agak gila."

Dahiku berkerut bingung secara otomatis. "Gila dalam artian yang bagaimana?"

Mark memindahkan kedua tangannya ke dalam saku celana jins. "Dia terlahir tanpa penyaring kosa kata di mulutnya. Jadi kuharap kau tidak terkejut dengan sikap frontalnya yang terkadang tidak tahu tempat. Tapi ia sebenarnya baik sekali."

Aku tersenyum santai. "Jangan khawatirkan itu."

Kami berangkat lewat pukul sepuluh. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumah keluarga Burton, kami mampir ke sebuah toko untuk membeli sekaleng kue kering sebagai oleh-oleh. Alamat yang kami tuju juga terbilang cukup jauh dari kota. Keluarga Burton tinggal di wilayah peternakan yang damai dan sangat sederhana. Hanya terdapat sekitar tujuh atau delapan rumah penduduk di sini. Selebihnya adalah bangunan peternakan untuk sapi, ayam petelur, domba berbulu lebat, dan kuda-kuda.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now