12. Rainy Morning

1.5K 327 19
                                    

Pagi ini hujan. Tidak terlalu deras namun sudah cukup membuat keadaan di luar seperti tenggelam dalam kabut putih. Selama aku berada di kota kecil ini, jarang sekali aku menemui hari di mana matahari bersinar hangat.

Apakah Woodstock selalu semuram ini di musim gugur?

Aku duduk canggung di dekat jendela ruang studio foto Mark. Aku belum sepenuhnya terlepas dari sisa-sisa ledakan perasaan di perpustakaan tadi malam. Mark sepertinya juga demikian. Sejak tadi ia berusaha terus berada di sisiku, seperti berupaya menghiburku.

Mark duduk di seberangku. Dua cangkir keramik berisi kopi hitam dan teh hangat bertengger di atas meja kayu yang memisahkan kami. Seusai sarapan, Mark mengajakku duduk-duduk di sini sembari menyesap minuman hangat. Katanya, meja dekat jendela studio foto adalah tempat favoritnya di rumah ini.

Ruangan studio bisa dikatakan luas. Ada kamera dan deretan lensa-lensa aneka ukuran tertata di rak dengan sangat rapi. Di tengah ruangan, terdapat meja utama dengan komputer PC dan sebuah laptop. Banyak sekali foto-foto pemandangan tanpa bingkai ditempel dengan posisi artistik di salah satu sudut dinding; ada potret seekor cheetah sedang menjilat wajah anak-anaknya, sudut curam sebuah tebing, matahari terbit, langit gelap menjelang badai, serta kebakaran hutan. Di bawah foto-foto itu, terdapat sebuah sofa dengan selimut yang dilipat berantakan. Sepertinya Mark sering tidur di sini saat sedang lembur atau semacamnya.

Di pojok ruangan, terdapat kamar mandi yang bersebelahan dengan ruang entah apa. Pintunya tertutup rapat. Ada pula sudut berisi majalah-majalah. Mulai dari majalah dengan judul-judul tidak kukenali hingga beberapa cetakan National Geographic; salah satu majalah kesukaanku.

Kusesap tehku perlahan. Sensasi getir bercampur manis yang tipis-tipis cukup meredakan rasa tidak enak di mulutku setelah mengonsumsi tablet antibiotik (aku masih harus menjalani terapi antibiotik paling tidak seminggu lagi setelah operasi terakhir tulang rusukku beberapa waktu lalu. Terkadang, aku ngeri membayangkan adanya pen titanium di dalam tubuhku. Aku merasa seperti cyborg).

"Hujan pasti membuatmu sangat bosan, ya?" Mark berspekulasi. Ia ikut memandang ke luar jendela dengan satu tangan memegangi telinga cangkir kopi. Tatapannya kemudian beralih kepadaku. Sejak kejadian di perpustakaan, Mark terlihat lebih memperhatikanku dengan cara tertentu.

Mark seperti ingin memahamiku. Tidak ingin melewatkan apa pun yang mungkin tidak diketahuinya dariku.

"Sebenarnya aku menyukai hujan, di Singapura cuaca selalu terik sekali," ujarku lirih.

Mark mengangkat sebelah alisnya. "Oh, ya?"

Kepalaku mengangguk. "Tapi hujan di sini entah mengapa seperti membawa rasa kesepian." Aku mengakui itu.

Mark menatapku lurus, seperti ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia seperti selalu ingin aku lebih banyak bicara, lebih banyak membuka diri untuknya. Tapi aku selalu menciptakan jarak. Aku selalu mempertahankan lapisan-lapisan pelindung yang menyembunyikan apa yang kupikirkan dan kurasakan.

Tapi bukannya berbicara lebih banyak, aku malah menyesap lagi tehku dengan sangat perlahan. Lalu diam.

"Aku akan selalu bisa menjadi teman." Mark menatapku hangat. "Jangan lupakan itu."

Aku mengangguk-angguk samar. Selama beberapa saat, kami saling diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Aku melirik kembali majalah-majalah yang tidak jauh dariku. Rasa penasaran datang menyambangi. "Boleh aku pinjam satu majalahmu?" tanyaku ragu-ragu.

Mark tersenyum. "Kau boleh mengambil semuanya jika kau mau." Ia seperti geli mendengarku repot-repot bertanya.

Aku mengambil satu majalah National Geographic edisi The Eye of Storms lalu kembali ke tempat dudukku. Foto-foto pemandangan alam yang muram beresolusi tajam langsung memesonaku sejak halaman pertama. Selama beberapa saat, aku melupakan Mark dan teh hangatku.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now