9. Wound

1.5K 358 14
                                    

Mark mengembalikan pistolnya ke posisi tidak terkokang lalu mengantonginya begitu saja, seolah-olah benda itu bukan baru saja digunakan untuk mencabut nyawa. Ia mengulurkan tangannya kepadaku.

"Kita pulang sekarang."

Aku dicengkeram rasa takut. Dadaku disesaki kegusaran luar biasa. Namun aku tidak punya pilihan selain menyambut uluran tangan Mark dan membiarkannya membantuku berdiri. Aku hanya mengetahui satu hal; aku berada dalam masalah.

Aku berusaha menggerakkan kakiku, namun sengatan rasa perih yang begitu mendadak membuatku terhuyung sambil mengerang pelan. Mark menahan tubuhku yang hampir terjatuh. Tatapannya terarah ke kakiku.

Noda darah membasahi bagian bawah celana piyamaku. Sebelum aku sempat mengantisipasi, Mark sudah berjongkok dan dengan sigap memeriksa lukaku.

Raut wajah Mark mengeras. Ia terlihat marah.

Hatiku semakin mencelus.

Dan tiba-tiba saja, Mark mengangkatku ke dalam bopongannya. Aku langsung berusaha memberontak, tapi Mark tidak membiarkan itu terjadi.

"Mark, tidak! Turunkan aku!" protesku. "Aku bisa berjalan sendiri."

Sebelumnya, aku dan Mark belum pernah melakukan kontak fisik yang berarti. Dibopong seperti ini tentu membuat perutku sontak menegang.

"Dan kau akan butuh waktu dua hari untuk sampai ke rumah," sahut Mark dengan melebih-lebihkan. Nada bicaranya dingin.

Mark mulai berjalan membawaku keluar dari hutan. Ia bergerak dengan begitu luwesnya seperti tanpa beban, seolah hanya sedang menggendong kucing saja.

Dadaku berdegup begitu kencang hingga terasa menyakitkan. Aku tidak pernah berada dalam jarak sedekat ini dengan Mark, dan fakta itu membuatku panik serta gugup luar biasa. Aku bisa merasakan hawa hangat menguar dari tubuhnya. Hidungku juga mencium aroma khas yang selalu ada pada dirinya. Samar-samar, aku bahkan bisa merasakan degup jantung di balik dadanya yang bidang.

Seumur hidupku, aku belum pernah 'cukup dekat' dengan lawan jenis. Kehidupan percintaanku payah. Kontak fisik yang pernah kulakukan hanya berupa jabat tangan, atau tos dengan teman laki-lakiku⸺paling jauh bergandengan tangan, dengan pemuda yang diam-diam kusukai saat berada di bangku SMA.

Aku sangat 'tidak berpengalaman', dan apa yang dilakukan Mark saat ini membuatku merasa cukup tidak nyaman.

"Mark, tolong turunkan aku." Kali ini aku memohon.

"Diamlah, Clavina." Mark membungkamku dengan ucapannya.

Aku hanya bisa memejamkan mata untuk menahan seluruh perasaan yang membentuk ledakan kekacauan di dalam diriku. Detik-detik rasanya berlalu dengan begitu lambat seperti sengaja menyiksaku. Aku tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan pernikahan, namun berada di dekat suamiku tidak seharusnya membuatku merasa seperti ini. Mark memang selalu membuatku kikuk, tapi kali ini ia berbeda. Kini ia lebih dari itu.

Hembusan napas Mark terasa hangat menyentuh puncak kepalaku. Ia tidak berbicara melainkan hanya berjalan lurus untuk segera membawaku pulang. Aku sama sekali tidak berani untuk mendongak melihatnya. Aku hanya terus membisu seperti anak kucing yang sedang takut hingga aku menyadari kami sudah tiba di hamparan tanah berumput halaman belakang. Matahari akan segera terbit, namun kabut sama sekali belum beranjak.

"Tubuhmu dingin." Mark berujar tiba-tiba. Suaranya datar.

Aku tidak menanggapi. Mataku menatap cemas jendela dapur yang kini disirami cahaya lampu yang lebih terang. Aku tidak ingin kami lekas-lekas tiba di rumah karena aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi selanjutnya di sana.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now