63. Cosy Snowy Days (END)

3.3K 277 271
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

*

Kulahap potongan terakhir buah pir dingin dalam mangkuk sembari duduk mendengarkan deru badai di luar sana. Butir-butir pil pereda mual dan vitamin sudah menunggu di atas meja makan. Sedari tadi, aku bersantai di dapur menikmati buah pir karena sedang bosan sekali dengan suasana kamar. Selain buah, tidak ada yang bisa bertahan lama di perutku. Semoga saja tidak apa-apa mengonsumsi pil pereda mual dan vitamin tanpa mengisi perut dengan makanan yang lebih berat sebelumnya.

Mark pasti akan protes, tapi toh ia kan tidak tahu. Ia sedang bekerja di studio sedari tadi.

Aku memakai dua lapis kaus kaki untuk menahan suhu dingin yang semakin menggigit. Terlebih dengan adanya badai salju bercampur petir di luar sana. Padahal ini baru pukul lima, namun hari tampak sudah gelap sekali.

Kuminum pilku satu per satu sembari memandangi jendela dapur yang tirainya sudah kutarik menutup karena aku tidak ingin melihat apa yang berada di luar sana. Hatiku disusupi rasa khawatir. Mark sudah akan mulai memotret untuk The Woodstock Chronicle besok, tapi cuaca belakangan sedang buruk sekali. Angin kencang tak henti-hentinya, dan suhu udara mencapai -13° Celsius padahal ini baru memasuki penghujung Desember.

Well, aku tahu Mark sudah terbiasa dengan situasi-situasi ekstrim karena pekerjaannya. Tapi tetap saja aku merasa khawatir.

Aku berjalan membawa gelas dan mangkuk buah yang sudah kosong ke bak cucian. Kepalaku menoleh ke belakang, memastikan Mark tidak akan turun ke dapur dan menemukanku sedang mengendap-endap mencuci.

Guyuran air dari keran membuatku berjingkat. Luar biasa dinginnya. Walau begitu, aku tetap lanjut mencuci gelas dan mangkukku. Setelah selesai, cepat-cepat aku mengeringkan tangan dengan handuk kecil.

Cahaya kilat menerangi ruangan dapur selama sepersekian detik. Aku mematung.

Petir akan datang.

Aku berjingkat saat gelegar suara petir memekakan telinga menyusul tak sampai dua detik kemudian. Keras sekali, sampai-sampai bingkai jendela seolah bergetar.

Listrik mendadak padam.

Ya Tuhan...

Sentakan rasa takut membuatku berlari tunggang-langgang meninggalkan dapur. Hampir saja kakiku terkilir saat menaiki undakan-undakan anak tangga dalam kegelapan.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now