59. First Trimester Swings

1.1K 202 183
                                    

Udara serasa menyusut dari paru-paruku sejak menit pertama aku melihat pria itu lagi dalam ruangan yang sama. Seperti ada barisan mimpi buruk yang dibangunkan kembali. Ada riak rasa sakit yang selama ini kusisipkan dalam ruang ingatan paling tak terjangkau, kini seperti permukaan air tenang yang dijatuhi balok kayu besar, menciptakan gelombang yang bisa saja menenggelamkanku sewaktu-waktu.

Nathan Anderson.

Ya Tuhan... monster itu...

Mark duduk di sisiku, berulang kali ia melempar kerlingan cemas. Aku bisa melihat sisa-sisa kemarahan dalam pembuluh darah di sekitar pelipisnya, bercampur dengan kecemasan yang ditujukan kepadaku.

Ada gelenyar aneh merambati punggungku, memusat pada bekas luka di mana Nathan pernah menghujamkan belati dengan kekuatan penuh.

Ia berniat melakukan itu kepada Mark. Jika aku terlambat bergerak sedikit saja, aku tahu aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri.

Ketegangan mengisi udara ruang persidangan pagi ini. Sebenarnya, ini adalah jam-jam di mana aku akan lebih memilih untuk berbaring, karena dari waktu bangun tidur hingga menjelang makan siang adalah puncak rasa mualku.

Aku menoleh ke belakang secara sekilas. Mr. dan Mrs.Burton ada di sana, begitu juga dengan Leo dan Teresa. Mereka hadir ke persidangan ini untukku dan Mark.

Teresa balas menatapku, ia tersenyum tipis. Sebuah bentuk dukungan.

Aku kembali menghadap ke depan. Kupejamkan mataku, aku benar-benar ingin muntah. Perutku bergejolak sedari tadi.

Tapi aku tidak akan menyerah pada rasa mualku. Persidangan ini harus tetap berjalan. Sebelum berangkat kemari, Mark berulang kali memastikan apakah aku benar-benar yakin untuk berhadir mengingat kondisiku. Tapi bagiku sekarang, yang terpenting persidangan ini dilangsungkan. Aku ingin semua ini lekas menemui akhir.

Sebentar lagi, Clavina. Hakim sedang membacakan putusan.

Dalam menit-menit yang terasa begitu surealis, akhirnya aku mendengar suara ketuk palu.

Nathan Anderson terjerat pasal berlapis tentang penculikan, penyekapan, pemalsuan kematian, dan penganiayaan.

Ia divonis 14 tahun penjara.

Ruangan diisi suara dengungan setelah vonis dijatuhkan. Semua orang tampak lega, khususnya Mrs.Burton yang sedari tadi menunjukkan raut tegang. Sebaliknya, air muka pengacara Nathan terlihat teramat keruh.

Aku terus mematung dengan perasaan lega. Mataku bergerak mengikuti arah ke mana Nathan digiring oleh petugas. Sebelum laki-laki itu meninggalkan ruangan, ia sempat melemparkan sebuah tatapan mematikan kepada Mark, lalu kepadaku.

Tatapan yang mengirimkan sesuatu mirip tusukan tajam pada jantungku.

Tapi Nathan tidak bisa melakukan apa-apa lagi sekarang.

Akhirnya, kami bisa meninggalkan ruang persidangan pada tepat pukul sebelas. Mark menggandeng tanganku menyusuri lorong berlantai marmer gelap. Di sana keluarga Burton beserta Teresa sudah menunggu.

Mrs.Burton memelukku layaknya seorang ibu. "Sekarang semuanya baik-baik saja, Nak." Ia bergumam. "Nathan sudah mendapatkan apa yang pantas diterimanya di balik jeruji besi. Ya Tuhan... aku ikut merasa lega sekali."

Aku balas memeluk erat. "Syukurlah. Saya juga merasa begitu lega, Mrs.Burton."

"Maggie." Mrs.Burton mengoreksi sembari mengurai pelukannya. Ia paling tidak suka jika aku bersikap kelewat formal.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum samar. Selanjutnya, aku dipeluk Teresa.

Sudah lama sekali aku tidak bertemu orang-orang baik ini. Terakhir kalinya adalah saat mereka menjengukku di rumah sakit di mana aku dirawat akibat insiden penusukkan yang dilakukan Nathan.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now