56. The Signs

1.1K 218 227
                                    

Aku menarik napas lega saat akhirnya bisa berjalan melewati pintu depan percetakan. Sejak bangun tidur tadi, aku sudah merasa tidak enak badan namun aku tidak memberitahu Mark. Aku tetap harus memimpin rapat dengan seluruh staf dan menyetujui tawaran kerja sama dari sebuah penerbitan indie. Mereka akan mencetak tiga ratus eksemplar buku terbitan pertama mereka dengan jasa kami. Begitu pula buku-buku mereka selanjutnya dalam kontrak dua tahun ke depan.

Aku mendengar bunyi klakson dari mobil jeep hitam yang terparkir di halaman depan gedung. Mark sudah menjemputku.

Senyumku merekah. Aku berjalan cepat menghampiri mobil sambil memasukkan tangan ke dalam blazer formal cokelat tua yang kukenakan. Mark sudah turun dari mobil dan kini membukakan pintu penumpang untukku.

"Bagaimana rapatnya, Girl Boss?" Mark bertanya antusias seraya membantuku memasang sabuk pengaman-yang terkadang masih sering macet.

Aku menautkan ibu jari dan telunjukku di udara menjadi huruf O a la chef. "Mulus," jawabku ringan.

Mark mengangkat tangannya ke udara dan kami ber-high five-ria.

"Istriku memang hebat." Mark berucap bangga. "Kau ingin makan apa? Anggap saja sebagai hadiah sederhana untukmu. Kita harus merayakan hal-hal kecil."

Aku berpikir sejenak. Mark mulai melajukan mobilnya meninggalkan area percetakan. Kuperiksa layar ponselku. Baru jam sepuluh pagi. "Ayo beli donat kacang."

"Di mana ada toko donat yang enak di sekitar sini?" Mark malah bertanya.

Bahuku terangkat. "Mana kutahu. Kau yang tinggal selama bertahun-tahun di Woodstock, Mark."

"Baik, ayo kita cari ke toko kue." Mark memutar-mutar roda kemudi untuk berbalik arah hanya dengan satu tangannya. Gerakannya luwes sekali dan itu mempertegas bentuk lengan kokohnya.

Aku tersenyum kecil. Hal sederhana yang membuat Mark terlihat sangat keren.

Kami berhenti di Woodstock Farmer's Market. Suasana ramainya membuat hatiku mencelus, terutama di deretan penjual buah-buahan.

Dan tiba-tiba saja, aku menginginkan mangga.

"Apakah tidak apa-apa jika aku menunggu di mobil saja? Aku agak sakit kepala." Akhirnya aku mengaku.

Mark tersenyum memahami. "Tentu. Kau mau apa lagi selain donat? Biar sekalian kubelikan."

"Mangga. Boleh, 'kan?" tanyaku lirih, setengah merengek.

Mark mengacak-acak lembut rambutku sembari tersenyum. "Tentu saja, Sayang. Kenapa harus memasang wajah memelas seperti itu?"

Aku tersenyum senang. "Terima kasih."

Mark mengangguk. "Tunggu sebentar, ya."
Ia membuka pintu dan turun dari mobil.

Setelah Mark meninggalkanku sendirian di bangku penumpang, aku menyandarkan kepalaku ke belakang dan memejamkan mataku selama beberapa saat. Beberapa hari belakangan aku merasa mudah sekali lelah. Padahal, aku tidak melakukan sesuatu yang berat. Rasanya hanya ingin terus berbaring.

Dan hari ini bisa dikatakan yang terparah. Kepalaku bahkan terasa berdenyut-denyut.

Aku hanya ingin lekas sampai di rumah dan makan mangga. Mulutku terasa tidak enak dan butuh yang segar-segar.

Aku menarik napas panjang. Perutku terasa sangat tidak nyaman. Kuubah posisi dudukku menjadi bersandar di jendela mobil sambil agak membungkuk.

Ya ampun, aku ingin mangganya sekarang.

Aku menegakkan posisi duduk saat mendengar pintu mobil dibuka. Mark kembali dengan sekotak donat dan beberapa butir buah mangga dalam kantong kresek bening.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now