29. Closer

1.3K 293 64
                                    

Jemariku bergerak halus menggoreskan bolpoin pada permukaan kertas polos berwarna putih kusam. Sedari tadi, aku berusaha untuk menulis. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak kulakukan. Menemukan sebuah notebook kecil agak usang di laci meja baca yang tidak terpakai tiba-tiba membuatku ingin sekali menuliskan sesuatu. 

Entahlah, dadaku seperti sedang dipenuhi sesuatu yang hangat belakangan ini. Aku tidak akan bisa menyimpannya sendiri, jadi aku ingin sekali menuangkannya dalam bentuk prosa. Sesuatu yang sederhana. Sesuatu tentang Mark.

Saat ia pulang memotret nanti, aku akan meminta Mark memberikan notebook kecil ini untukku saja daripada tidak terpkai. Aku suka warna sampul kulit sintetis cokelat gelapnya yang terkesan klasik. Ukurannya juga terasa sangat pas di tanganku.

Aku memutuskan untuk berhenti setelah tulisan miring kecil-kecilku sudah memenuhi dua halaman. Kuletakkan foto polaroid Mark sebagai pembatas. Aku sangat menyukai foto itu. Rasanya, aku jadi rindu hutan. Semoga Mark mengajakku memotret lagi kapan-kapan.

Tapi, entahlah. Ia terlihat tidak ingin membiarkanku menginjakkan kaki ke hutan lagi karena tempat semacam itu selalu membuatku celaka. Pertama, serigala. Kedua, tarantula. Satu-satunya momen di mana aku 'selamat' di hutan adalah ketika kami mengunjungi hutan maple Sugarbush Farm. Itu rekor yang buruk tentunya.

Hatiku menghangat mendengar sayup-sayup suara mobil Mark mendekat. Ia pulang cepat padahal tadi sudah kubawakan bekal makan siang, mengantisipasi ia akan memotret sampai sore. Aku terus duduk mendengarkan tanda-tanda dirinya yang mendekat. Kuputuskan untuk keluar dari perpustakaan saat suara langkah kakinya sudah tiba di anak tangga kayu teratas dan mulai berbelok menapaki koridor.

"Clavina... aku pulang." Mark berseru rendah.

Kulongokkan kepalaku melintasi pintu perpustakaan. "Kau pulang lebih cep"

Kalimatku seketika terhenti. Mark berdiri balas menatapku di depan pintu studionya. Ada memar di dahinya. Hidungnya berdarah. 

"Mark! Kau kenapa?" Aku diserang rasa panik. Kakiku berlari cepat menghampiri Mark. Ia mengusap hidungnya dengan lengan jaket lalu mendongakkan kepalanya karena darah dari hidungnya masih mengalir.

"Tadi aku terjatuh." Mark menjawab dengan suara tidak jelas.

Cepat-cepat kuambil tas berisi peralatan memotret dari bahu Mark dan langsung membantu membawanya masuk ke studio. Ternyata berat juga. Aku harus berhati-hati karena semua benda dalam tas ini pastilah sangat berharga bagi Mark. "Duduklah di sofa," kataku kepada Mark yang sudah menyusulku. Ia masih menyumpal hidungnya dengan lengan. "Akan kuambilkan es dan kotak P3K."

Monster bernama kepanikan menggeliat hebat di dalam diriku. Aku berlari turun ke dapur untuk menyambar es batu dan sebuah baskom kecil. Selanjutnya, aku menghambur ke kamar untuk menyabet handuk kecil dan kotak P3K. Aku kembali ke studio dengan napas terengah. 

Mark duduk di sofa dengan wajah menengadah untuk menghentikan mimisannya.

Dengan perasaan cemas yang meluap-luap, aku duduk di sisi Mark. Tanganku menangkup salah satu sisi wajahnya dengan agak gemetar. "Jangan terlalu mendongak, nanti justru menyumbat saluran pernapasan," kataku lembut.

Setelah Mark menegakkan wajahnya, dengan teramat hati-hati kukompres hidungnya dengan es yang sudah kubungkus handuk lembut.

Mark mengerang pelan.

"Tahan sedikit, tidak akan lama." Aku bergumam halus. Tanganku masih menempelkan handuk dingin di bawah hidung Mark tanpa sedikit pun bergerak. Mataku menatap iba, hatiku terenyuh. Mark terlihat kesakitan. Ia berusaha bernapas melalui mulut. Kedua bahunya tampak tegang.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now