31. Scars and Acceptance

1.4K 307 116
                                    

"Apakah itu bayi rubah?" Aku melongok melewati bahu Mark sambil memegangi cangkir besar berisi minuman jahe hasil percobaan pertamaku. Sedari tadi Mark berkonsentrasi dengan foto di laptopnya sembari berselonjor kaki di atas karpet yang menghadap perapian. Punggungnya bersandar nyaman pada kaki sofa.

"Yep," sahut Mark, suaranya masih terdengar agak parau karena flu. Ia memberi isyarat agar aku duduk di sisinya. "Aku menjepretnya di Mount Tom."

"Cantik sekali," komentarku sembari ikut menyandarkan punggung. Tanganku memegangi cangkir dengan balutan lengan sweter tebal yang melindungiku dari panas. Mataku masih terpaku pada potret tajam seekor anak rubah merah sedang bermain di antara semak-semak hawthorn. Lagi-lagi Mark membuktikan bahwa ia benar-benar berbakat dalam memotret. "Seandainya kita bisa mengadopsinya."

Mark berjengit dengan sebelah alis terangkat dramatis. "Mengadopsi bayi rubah?"

Aku mengangguk polos. "Pasti menyenangkan. Akan membuat rumah jadi ramai." Sayangnya rubah termasuk hewan liar. Mereka tidak akan seramah Olta.

Mark terkekeh geli. "Lain kali aku akan mencoba memotret bayi naga dan mari lihat apakah kau juga ingin mengadopsinya."

"Sebenarnya aku mungkin lebih menginginkan bayi T-Rex." Aku ikut berseloroh.

Mark tertawa kecil. Senyuman gemas mewarnai air mukanya. Ia mengacak-acak rambutku dengan lembut. "Kau sudah minum vitaminmu?"

Aku mengangguk. Mark memintaku mengonsumsi vitamin C agar aku tidak ikut terserang flu akibat tertular dirinya atau karena cuaca yang memang semakin kurang bersahabat belakangan ini.

Mark tiba-tiba mengalihkan perhatiannya ke secangkir minuman yang mengepul-ngepul di atas pangkuanku. "Apa itu?"

Aku menunduk, ikut memandangi cangkir. Aroma pedas menggelitik hidungku. "Minuman jahe. Menurut beberapa artikel di internet, rebusan jahe yang dicampur madu sangat baik untuk meredakan flu, dan kebetulan aku menemukan bubuk jahe dalam kondisi baik di dapur."

"Untukku?" tanya Mark dengan pendar hangat di matanya.

"Ya. Minumlah saat sudah tidak terlalu panas. Untuk sekarang, biar kupegangi dulu." Kuusap-usap dinding cangkir dengan telapak tanganku yang berbalut lengan sweter. "Kau lanjut saja dengan fotomu."

"Kemarikan, jangan kau yang memeganginya untukku. Nanti tanganmu panas." Mark mengambil cangkir dari pangkuanku dengan sangat perlahan. Ia menghirup uap yang keluar dari minuman jahe dalam-dalam, namun tidak langsung meminumnya karena memang masih panas.

Kutumpukan sikuku di atas sofa dan menopang leherku dengan tangan, condong ke arah Mark agar aku bisa melihat foto rubah di laptop dengan lebih dekat. "Ke mana ibunya?" tanyaku acak.

Mark mengerdikkan bahu. "Mungkin sedang mencari makan saat aku memotret ini."

Beberapa detik kemudian, Mark menoleh. Ia menatapku lama dengan bibir terkatup rapat hingga mencetak lesung pipinya. Rautnya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa?" Dahiku mengernyit bingung karena dipandangi seperti itu.

Mark seperti hendak mengatakan sesuatu, namun ia malah menggelengkan kepala. Mengurungkannya. "Tidak ada."

Aku menatap Mark terbengong-bengong. "Sejak kapan kau jadi begitu?"

Mark mengangkat sebelah alisnya. "Memangnya ada apa denganku, Clavina?" Ia tersenyum.

"Entahlah, menggantung-gantungkan sesuatu."

"Kita bahas kapan-kapan saja." Mark mendekatkan cangkir ke bibirnya, menghirup dalam-dalam aroma minuman jahe sekali lagi, lalu perlahan mulai menyesapnya. Aku terkejut karena ia tiba-tiba tersedak.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now