41. Rainy Weekend and Him

1.1K 257 159
                                    

Kutuangkan madu ke dalam dua cangkir minuman jahe yang berkepul-kepul di konter. Aromanya memberikan sensasi nyaman di hidung. Kali ini aku menambahkan lebih banyak madu karena Mark tidak suka pedas. Semoga kali ini rasanya tidak buruk.

Kepalaku menoleh saat aku mendengar langkah kaki di belakangku. Mark menghampiriku dengan senyum terulas.

Pemandangan terbaik di pagi hari.

"Sedang apa?" Mark melingkarkan lengannya di pinggangku dan berdiri di sisiku.

"Membuat minuman hangat," jawabku sambil mengaduk isi cangkir dengan sendok teh, menimbulkan bunyi dentingan di tengah deru hujan.

"Mengagumkan, Clavina. Selama kau di sini, kehangatan seperti tidak pernah absen." Mark semakin mempererat rangkulannya di pinggangku.

"Meski minuman yang kubuatkan tidak selalu enak?" Aku tersenyum geli.

"Aku bukan hanya membicarakan tentang minuman."

Kualihkan pandanganku dari Mark karena salah tingkah. "Oh," kataku pelan, hampir tak terdengar.

"Akhirnya akhir pekan tiba, dan aku sedang tidak banyak pekerjaan. Aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu." Mark bergumam santai.

Aku yang sudah tidak lagi berkutat dengan minuman jahe mau tak mau harus mengalihkan perhatianku kepada Mark. "Memangnya kau tidak jenuh jika terus-terusan menghabiskan waktu bersamaku?"

"Bagaimana bisa?" Kedua alis Mark saling bertautan. Ia menyentuh daguku. "Gadis periku ini adiktif. Semakin aku mendekatinya, menghabiskan waktuku dengannya, aku semakin ingin lagi dan lagi."

Asupan oksigen seperti menyusut dari paru-paruku. Pipiku menghangat, lalu suhu itu berubah menjadi panas dan menjalar hingga ke cuping telingaku.

Mark memiringkan wajahnya ke satu sisi. "Apakah semua peri seberbahaya dirimu, Clavina?" Ia melafalkan namaku lamat-lamat.

Yang berbahaya itu kau, Mark! Kau bisa membuatku terkena serangan jantung kapan saja.

Aku langsung kikuk seperti kucing bodoh. Dadaku bergemuruh. "Aku bukan peri." Hanya itu yang bisa kukatakan karena aku gugup.

Mark tersenyum miring. "Aku tidak setuju." Ia menarik pinggangku agar aku mendekat. Selama beberapa detik, ia menatapku dengan cara seolah aku adalah sesuatu yang paling berharga baginya. Ia menunduk dan mengecupku lembut.

Mataku terpejam. Entah kapan tepatnya kedua tanganku berpindah ke dada Mark. Ia begitu hangat dan membuatku merasa dilindungi.

Kedua tangan Mark berada di punggungku, seolah menjagaku dari kemungkinan terjatuh karena aku sedang tenggelam dalam pusaran perasaanku sendiri.

Mark selalu tahu apa yang harus dilakukan dan membuat segalanya terasa sangat benar. Ia yang paling tahu bagaimana cara membuatku merasa aman dalam dekapannya, selalu paham bagaimana aku ingin diperlakukan di setiap kebersamaan erat kami.

Ia seperti sebuah utopia.

Mark kembali berdiri tegak. Kedua matanya berpendar hangat. Ia tersenyum tulus, hampir tampak polos."Aku benar-benar sedang jatuh cinta."

Aku tertegun mendengar itu. "Aku juga," gumamku lirih. "Keadaanku jauh lebih parah."

Senyum Mark semakin terurai mendengar ucapanku.

"Mark, boleh kita bicara sebentar?" tanyaku, takut merusak suasana hati Mark.

Dahi Mark mengernyit. "Tentu."

"Ke beranda belakang saja sambil melihat hujan. Minuman jahenya sudah tidak terlalu panas, sudah bisa kita minum." Kuserahkan cangkir Mark.

Mark mengangguk setuju.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now