32. Little Things

1.4K 302 98
                                    

Aku berjalan pelan melintasi koridor, menikmati suara kakiku menapak pada lantai kayu di tengah suasana rumah yang lengang. Langkahku terhenti tepat di ruang di mana aku akan selalu menemukan Mark. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya tanganku mengetuk pintu studio dengan sangat berhati-hati, takut aku mengganggu Mark pagi-pagi begini.

"Masuklah, Clavina." Mark langsung menyahut dari balik pintu.

Aku memutar kenop, mengayunkan pintu, lalu melongokkan kepalaku ke dalam. "Apakah kau sedang sibuk?" Pertanyaanku terdengar penuh keraguan. Mengusik Mark yang sedang tenggelam dengan dunianya adalah hal yang paling tidak ingin kulakukan.

Mark langsung mengalihkan perhatian dari laptopnya. Sorot matanya tiba-tiba terlihat sangat tertarik. "Tidak juga. Memangnya kenapa?"

Aku memutar-mutar ujur sendal buluku di atas lantai kayu. "Uh... keran di dapur tiba-tiba macet."

Mark tersenyum konyol. "Kukira apa." Ia menekan beberapa tombol keyboard, menyimpan dokumen yang sedang dikerjakannya. Ia langsung bangun dan melangkah menghampiriku. "Sudah dari tadi?"

Aku mengangguk. "Sejak aku selesai mencuci piring sarapan tadi. Aku sudah mencoba menggoyang-goyangkannya, tapi tetap tidak bisa."

Mark terkekeh pendek. "Memang sering seperti itu." Ia menyempatkan diri untuk mengacak-acak lembut rambutku sebelum berjalan meninggalkan ruangan.

Iseng sekali.

Aku mengikuti Mark ke dapur, menggeser kursi lalu duduk menyampingi meja. Kuperhatikan Mark yang sedang membungkuk di depan keran dengan kotak perkakas berisi obeng, kunci Inggris, dan benda-benda semacam itu. Lengan kemejanya digulung tinggi agar tidak mengganggu pekerjaan.

Kuayun-ayunkan kakiku yang berbalut kaos kaki tebal bergambar rubah-rubah merah mungil. Mark membelikannya sepulang dari kedai waffle kemarin. Menurutnya kaus kaki ini lucu dan cocok dengan obsesi baruku akan rubah.

"Ngomong-ngomong, Teresa mengajakku keluar siang nanti." Aku bergumam sembari meminta izin.

"Oh ya? Kalau begitu ikut saja. Sesekali kau juga harus jalan-jalan bersama teman perempuan agar kau tidak bosan tinggal di rumah seram ini." Mark kini fokus mengutak-atik pipa di bawah bak cucian.

"Aku menyukai rumah ini." Aku berujar santai, merasa bahwa 'rumah seram' kini bukan lagi gagasan yang buruk karena aku mulai merasa sangat nyaman tinggal di sini. "Aku sering membayangkan tinggal di dalam rumah seperti ini karena novel-novel yang kubaca."

"Biar kutebak; novel bertema gothic?" Mark terdengar seperti sedang menahan kekehan.

"Sebenarnya iya. Dan semua ini jadi terasa keren." Aku bergumam tidak jelas. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. "Mark..."

"Hmm?"

"Bolehkah notebook coklat kecil yang tak terpakai di perpustakan untukku saja?" Mendadak aku merasa agak bersalah karena baru bertanya setelah menggunakannya.

"Aku tidak ingat ada notebook semacam itu di perpustakaan."

"Memang sudah agak tua dan seperti lama dibiarkan di dalam laci. Tapi aku suka. Nyaman sekali dipakai untuk menulis."

Mark melemparkan sebuah senyum kecil. "Ambil saja jika kau mau, tidak perlu meminta izin segala." Ia memutar keran untuk memastikan apakah benda itu sudah berfungsi lagi dengan baik. "Kalau kau ingin menulis, pakai komputer PC-ku saja. Aku lebih sering memakai laptop."

"Untuk sekarang aku belum membutuhkannya. Rasanya lebih mudah mengumpulkan ide-ide awal dengan menulis di atas kertas."

Keran sudah kembali berfungsi sekarang, aliran air yang mengucur sudah sederas biasanya.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now