25. Inevitable

1.3K 299 103
                                    

"Nanti jangan lupa mengunci pintu, ya. Aku sudah membawa kunci cadangan." Mark memakai jaket hitamnya, sudah siap untuk pergi.

Aku menoleh setelah menarik pengisi daya dari ponselku. "Baik. Hati-hati."

Mark menghampiri pintu. "Sampai nanti." Ia tersenyum miring sebelum menutup pintu kamar, seperti melemparkan maksud tertentu.

Aku mematung. Rasanya ingin sekali kubenturkan kepalaku pada tepian nakas memikirkan tentang kebodohanku di ruang perapian tadi.

Apa sebenarnya yang sudah kupikirkan?!

Mark pasti akan menagih-nagih penjelasan saat pulang nanti. Sebenarnya, terkadang aku justru mencemaskan sifat terlalu observatifnya. Ia hampir memperhatikan segalanya jika itu menyangkut diriku. Ia seperti selalu ingin mempelajariku untuk memahamiku.

Itu membuat Mark terkadang menjadi terlalu peka.
Sulit sekali menyembunyikan sesuatu darinya.

Aku hanya punya dua pilihan; berbohong atau mengaku saja. Keduanya punya konsekuensi yang memikirkannya saja sudah membuatku frustrasi.

Kihirup udara dalam-dalam. Aku harus tenang. Ada hal lain yang harus kulakukan, yang tidak boleh terganggu akibat insiden ruang perapian.

Ulang tahun Mark.

Aku tahu itu sudah lewat lebih dari sebulan lamanya, tapi aku tetap ingin melakukan hal sederhana. Sebenarnya aku sudah merencanakan ini beberapa hari belakangan, namun belum menemukan waktu yang tepat untuk merealisasikannya. Aku langsung terpikir untuk melakukannya hari ini saat Mark bilang akan pergi keluar pagi tadi.

Bukan sebuah perayaan besar. Aku bahkan belum terpikir untuk memberinya hadiah apa. Aku hanya akan menyiapkan makan malam sederhana, tapi spesial.

Pasti sedih rasanya melewatkan ulang tahun tanpa siapa-siapa. Mark bisa jadi masih di alam liar Alaska 1 September lalu, mana mungkin ada perayaan ulang tahun. Dan ketika ia tiba di rumah pun, tidak ada yang menyambutnya pulang dengan sesuatu yang berbeda selain rumah besar tua yang kosong melompong.

Aku tahu, makan malam spesial mungkin bukan apa-apa. Jujur, aku tidak pandai mengatur kejutan. Tapi aku tetap ingin melakukannya. Aku belum pernah memberi Mark apa-apa, jadi untuk hari ini saja, aku ingin mengabaikan kegusaran dalam diriku. Malam ini harus tentang Mark. Bukan diriku.

Terlepas dari kemungkinan ia akan tetap merongrongku untuk memberinya kejelasan saat pulang nanti, aku tetap ingin menyiapkan kejutan kecil ini.

Yang terjadi, terjadilah.

Setelah mendengar mobil Mark meraung meninggalkan pekarangan, aku langsung melesat menuruni tangga sembari mencepol rambutku. Kukeluarkan semua bahan-bahan dari lemari pendingin yang sebenarnya isinya masih cukup banyak namun Mark sudah berancang-ancang untuk berbelanja lagi. Mungkin ia takut tiba-tiba terjadi badai gila yang membuat kami terjebak dan kelaparan di sini.

Aku sebenarnya ingin memasak ayam goreng bumbu kuning resep dari ibuku, namun aku tidak tahu di mana toko Asia terdekat di sini. Waktu yang kumiliki juga terbatas. Lagipula, aku tidak yakin apakah Mark menyukai masakan Indonesia. Jadi sudahlah, aku akan memasak ayam panggang dan salad saja.

Aku juga akan menyiapkan puding mangga sebagai menu penutup.

Aku masih punya waktu sekitar tiga jam lagi menuju makan malam. Semua pasti bisa selesai jika aku multitasking.

Semoga saja Mark tidak tiba-tiba kembali karena ada barang yang tertinggal atau semacamnya, itu akan mengacaukan segalanya.

Sembari menyiapkan thyme, bawang putih, garam, lada, minyak zaitun, madu, serta perasan jeruk lemon untuk ayam panggang, pikiranku terus saja tertuju pada apa yang akan kukatakan nanti pada Mark. Membayangkan aku mengakui perasaanku kepadanya membuat perutku mual oleh rasa gugup.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now