[16] pain

13.7K 245 15
                                    

Anka merapatkan dirinya di sebelah Kuchel. Ekspresi di wajahnya sulit dibaca, namun yang pasti, wanita itu terlihat seperti ingin memberitahukan sesuatu kepada Kuchel. Kuchel hanya bisa terheran melihat tingkah laku sahabatnya yang sedikit aneh.

"Ada apa?"

"Umm.. Aku ingin bertanya padamu." kata Anka tampak ragu.

"Apa?"

"Apa mereka berdua memang akrab seperti itu?" tanka Anka tanpa menyebutkan nama, namun Kuchel langsung mengerti siapa yang dimaksud.

"Bukannya itu bagus jika mereka terlihat akrab?"

"Ya.. Memang bagus. Tapi.. Aku rasa mereka terlalu akrab."

"Hah, maksudmu?" kening Kuchel berkerut bingung.

"Hmm.. Maksudku.. Apa kau tidak pernah mengawasi mereka? Terutama Petra? Ahh yahh.. Dibanding adik-kakak, mereka lebih terlihat seperti.. Suami-istri."

Anka melihat raut bingung dan kesal pada wajah Kuchel begitu mendengar perkataan dirinya. Anka juga tidak tahu apakah ucapannya benar atau salah, yang pasti, ia ingin sekali mengatakan itu dan ingin Kuchel tahu akan hal tersebut. Namun tampaknya idenya salah karena tatapan Kuchel perlahan berubah menjadi tajam.

"Ahaha maaf.. Maaf.. Aku tidak bermaksud begitu. Habisnya aku baru pertama kali melihat adik-kakak seakrab itu, jadi pikiranku langsung ngelantur." Anka tertawa berusaha mencairkan suasana, "kau benar, akan lebih bagus jika mereka akrab."

Lalu Anka pun melanjutkan kembali kegiatan menontonnya dan menghindari tatapan tajam Kuchel. Meskipun hal tersebut begitu mengganjal di hatinya.

Pada keesokan paginya, Kuchel yang tengah menyiapkan makanan pada meja makan lagi-lagi dibuat bingung karena cara berjalan Petra yang sedikit aneh. Gadis itu berjalan mengangkang seperti orang yang mengenakan popok besar. Walaupun hanya dari ekspresi wajah, namun Kuchel yakin kalau Petra terlihat kesakitan. Bibirnya meringis pelan.

"Kau tak apa?" tanya Kuchel pada gadis itu. Petra mendongak melihat ibunya tengah menyiapkan sarapan.

Petra tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. "Aku tidak apa-apa bu..."

"Kau terlihat kesakitan, kenapa? Apakah Levi menyakitimu?"

"tidak, bu.. Tidak." ia menggeleng cepat, "aku sedang datang bulan jadi perutku terasa sedikit sakit." jawabnya dusta.

"Ohh begitu ya.. Mau ibu kompres pakai air hangat?"

"Tidak usah. Aku harus segera berangkat ke sekolah."

"Sarapan dulu."

"Baik." Petra duduk menyantap sarapannya. Sepiring waffle bersalut cream dan buah berry di atasnya. Dengan adanya makanan tersebut Petra bisa melupakan sejenak rasa sakitnya.

Beberapa saat kemudian Levi turun dari lantai atas lengkap dengan setelan kemeja abu-abu dan jas hitamnya. Levi terlihat lebih tampan hari ini. Surai hitam yang biasa dibiarkan menutupi sebagian mata itu kini ia sisir ke belakang dengan sedikit pomade yang dioleskan ke permukaan rambut. Aroma mint dari tubuh atletisnya menyeruak dan berhasil tercium hidung Petra.

Kakak tampan sekali hari ini...

Levi mengambil sepotong roti isi dan menyeruput teh manisnya sedikit, manik kelabunya melirik adiknya yang sedang melihat kepadanya. Levi tersenyum tipis lalu pergi meninggalkan ruang makan.

"Maaf aku tidak bisa sarapan bersama kalian. Aku buru-buru. Erwin bilang ada yang harus dikerjakan segera."

"Oke.. Hati-hati di jalan Lev.." jawab Kuchel dari dapur.

My Cutie SisterWhere stories live. Discover now