31. the unhappy

80 14 4
                                    

Dingin dan gelap.

Jam digital yang terpasang di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 1 pagi. Lee Jina membiarkan Moonlight Sonata mengalun dengan volume rendah melalui ponselnya sembari menikmati kesendirian sambil duduk di tepi jendela besar. Sesekali ia tersenyum saat mengamati foto-foto masa lalu dari ponsel itu.

Orang-orang memang benar, Jina pernah terlihat bahagia meskipun memiliki banyak masalah hidup. Bahkan ia masih sering piknik bersama Somi saat orang tuanya bercerai, saat ibunya menghilang dan ayahnya hendak menikahi perempuan lain.

Luka dalam hatinya seolah tidak pernah ada.

Jemarinya berhenti menggeser layar saat menampilkan fotonya bersama Jaemin. Senyum yang ada di wajahnya masih tetap sama meskipun sedang berada di rumah sakit dan tubuhnya sedang cedera parah.

Jina jadi ingat ucapan pemuda itu tadi sore, Jaemin bilang dirinya sudah tidak bisa melihat hantu. Meskipun ia tidak begitu merasa kehilangan, Jina tau itu adalah hal yang harus dibayar karena Jaemin terlalu banyak mengetahui rahasia langit.

Ia jadi merasa bersalah saat mengingat Jaemin pernah hampir mati karena dirinya.

"Maafin aku, Na Jaemin." katanya pelan.

Gadis itu mengamati pantulan tubuhnya yang tak lagi normal pada kaca besar didepannya. Sejak dulu, sekarang ataupun kedepannya, dirinya hanyalah beban untuk banyak orang.

"Maaf.." ucapnya pelan sambil menangis tersedu-sedu. Untung saja ruangan itu kedap suara. Ia tak perlu memikirkan suara musik dan tangisannya akan mengganggu orang lain.

Tak lama, ia mendengar suara pintu terbuka. Seseorang menghidupkan lampu untuknya dan menghampirinya yang sedang duduk di sudut ruangan.

"Kamu kenapa?"

Jina mendongak, mendapati Park Chanyeol yang sedang berjaga malam memegang pundaknya sambil menatapnya panik.

Gadis itu hanya menggeleng sambil berusaha menstabilkan napasnya. Ia menerima empat lembar tissue yang disodorkan untuknya kemudian menyeka air mata yang ada di wajahnya.

Seolah mengerti, pria itu tidak bertanya banyak hal pada Jina dan membiarkan gadis itu menyelesaikan tangisannya untuk beberapa saat.

"Udah selesai nangisnya?"

Jina mengangguk dan membersihkan ingus dengan tissue ditangannya.

"Ada yang sakit?"

"Enggak dok, saya cuma sedih aja denger musiknya." bohongnya. Tentu saja Chanyeol tidak percaya, gadis itu menangis dengan penuh sesak. Mustahil sebuah musik bisa membuat seseorang menangis sesakit itu. "Serius, saya dulu pernah menang kompetisi ballet pakai lagu ini, dan sekarang saya nggak bisa ngelakuin apa yang saya suka lagi." lanjutnya.

"Mama kamu kemana?"

"Pulang dok. Kasian disini terus, saya kan udah nggak apa-apa kok."

"Kok nggak tidur, udah jam segini?"

Jina menghela napas sambil menatap keluar, "Saya udah tidur satu bulan lebih, kenapa orang-orang masih aja nyuruh tidur lagi ya? Hehe." katanya retoris.

Pria itu menarik kursi disebelahnya dan ikut duduk menatap keluar jendela, "Kamu mau denger cerita nggak? Saya juga gabut tengah malam gini."

Gadis itu tertawa,bahkan di dalam drama pun ia tidak pernah melihat adegan dokter yang kurang kerjaan saat berjaga malam. "Cerita apa?"

"Jadi dokter sebenernya bukan cita-cita saya."

"Terus dulu mau jadi apa dong?"

"Jadi idol, atau jadi aktor gitu. Saya kan ganteng."

Evanesce ✔Where stories live. Discover now