14. tears

344 95 32
                                    

Jina merasa tidak pernah menutup matanya, tapi entah kenapa pandangannya menjadi semakin buram hingga akhirnya gelap sepenuhnya.

Entah apa yang terjadi pada dirinya, Jina hanya dapat melihat wajah Jaemin dari jarak yang begitu dekat.

Lelaki itu terlihat sangat khawatir.

"Lee Jina, kamu kenapa?"

"Huh?"

Gadis itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya terbangun, "Jaem, aku kenapa?" Tanyanya sambil meraba tubuhnya sendiri.


"Kamu berubah.."

Tok tok tok

Jina menoleh ke arah jendela kaca yang tidak tertutup tirai. Ia mendapati Kai tengah mengetuk dari luar sana. 

Pria itu melayang.

Tanpa pamit, Jina segera menghampirinya dan meninggalkan Jaemin sendirian tanpa menjelaskan apapun. Anehnya, tubuhnya seolah menghilang ditelan cahaya bulan purnama yang bersinar terang.

"Lee Jina.." 

Jaemin berlari menuju jendela dan mengedarkan pandangannya keluar mencari keberadaan Jina yang mungkin saja masih terlihat.

Tapi nihil. Jina benar-benar menghilang ditelan oleh cahaya entah kemana.

Bukankah gadis itu tidak memiliki kemampuan sihir, kenapa bisa menghilang begitu saja?

Entah mengapa itu membuat Jaemin takut.



"Pak Kai, saya tadi kenapa?"

Pria berkulit tan itu bersedekap. Tatapannya menyiratkan sebuah kekesalan pada Jina. "Kamu baru aja marah."

"Eh?"

"Waktumu semakin berkurang, tapi kamu belum ambil satu langkahpun buat nyelesain masalah-masalah itu. Semakin lama, jiwa sama ragamu makin rentan. Kamu bisa semakin sering berubah jadi jahat bahkan tubuhmu bakal lebih sering drop."

Gadis itu terdiam.

"Kamu nggak boleh marah, kamu nggak boleh biarin perasaanmu dikuasai sama rasa dendam."

Air matanya jatuh. Jina merasa semuanya terlalu runyam. Umurnya bahkan masih 18 tahun. Dia tidak punya pengalaman melakukan hal-hal seperti itu.

"Kasih saya saran dong pak.. saya harus ngapain lagi?" ucapnya terdengar putus asa.

Keduanya duduk di tepi atap gedung sambil mengayunkan kaki kebawah. Perasaan yang menghinggapi Jina sangat kontras dengan langit malam yang begitu cerah.

"Kematian Kang Mina, kejahatan Jung Jaehyun, Yayasan Harim— atau alasan yang buat aku jadi gini. Mana yang harus saya selesaikan?"

"Semuanya."

Lee Jina menatap ke arah langit kemudian tertawa sarkastik. Tiba-tiba saja harapan hidupnya menghilang.

"Kenapa semuanya?"

"Karena semua itu berhubungan."

"Terus kenapa harus saya?"

Kai tidak langsung menjawabnya. Pria itu menatap datar pada Jina seperti saat pertama kali mereka bertemu. "Karena kamu yang masih tersisa. Kang Mina udah mati, sedangkan kamu  masih hidup."

Jina merasa tidak adil. Bagaimanapun dia masih merasa keberatan karena harus menanggung tugas itu.

"Kalau kamu gagal, bakal banyak gadis-gadis lain yang bakal mati dengan cara yang sama. Kamu cukup tau gimana rasanya itu." Ucap Kai sambil mengangkat bahunya. "So, how does it feel?"

Evanesce ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora