27. Gengsi

4.9K 727 7
                                    

Linden menyadari kewaspadaan Fiona. Pemuda itu akhirnya melepaskan tawa yang sedari tadi ditahannya. "Sudah kubilang, santai saja. Kenapa kau malah terlihat tegang begitu!"

"Karena Anda menakutkan, Tuan ... eh! Maaf!" ceplos Fiona. Terlalu tenggelam dalam ketakutan dan lamunan membuat Fiona tidak bisa mengerem kata-katanya.

Linden tergelak. "Aku hanya ingin mengobrol sebentar. Lupakan sejenak mengenai posisi antara pelayan dan majikan di sini."

Fiona mengerutkan dahi. "Anda tidak akan melakukan apa pun, 'kan, pada saya?"

Linden menggeleng. "Aku janji."

"Baiklah ... ." Fiona akhirnya menyerah. Ia menyesap cokelat hangatnya sembari sesekali mengintip Linden dari balik gelas. Linden sendiri hanya tersenyum-senyum memperhatikan tingkah Fiona.

"Kudengar, kau dan kakakku hari ini pergi mencari tempat berjualan sup daging berkuah hitam kemarin." Linden membuka percakapan. "Apa namanya?"

"Rawon, Tuan," sahut Fiona, seraya meletakkan gelas di atas meja. "Dari mana Anda tahu? Apakah Tuan Lucas bercerita?"

Linden mengibaskan tangannya. "Itu tidak penting. Katakan padaku, apa yang kau butuhkan untuk bisa berjualan?"

"Eh, umm ... ." Fiona menerawang sejenak. "Aku butuh tempat yang dekat dengan keramaian dan harganya murah."

"Kau tidak menemukannya?" tanya Linden lagi.

Fiona menggeleng. "Harga jual satu bangunannya masih mahal bila dibandingkan dengan perhitunganku mengenai pendapatan awal jualan nanti. Kami juga tidak menemukan harga sewa yang pas untuk itu."

Fiona menceritakan dengan rinci mengenai keinginannya berjualan rawon pada masyarakat kelas menengah. Fiona pun sudah menentukan harga jual per porsinya dan apa saja yang akan dia lakukan agar rawon buatannya dapat diterima oleh para warga.

"Nantinya, aku akan melakukan berbagai macam promosi untuk mengenalkan produk rawon ini, dan hal ini butuh modal lumayan besar. Seperti misalnya, mengadakan sayembara makan rawon, membentuk paket makanan, dan semacamnya. Aku tidak bisa menghabiskan banyak uang hanya pada biaya sewa tempat saja."

Linden mendengarkan Fiona secara saksama sembari menatap gadis itu lekat-lekat. Fiona menyadari hal itu begitu ia selesai menjelaskan. "Ke-kenapa Anda melihatku seperti itu, Tuan?"

Linden tersenyum simpul. "Kau memikirkan semua rencana itu dengan baik sekali. Sulit dipercaya, kalau kau hanyalah seorang pelayan yang datang dari desa."

Kedua mata Fiona terbelalak, tetapi ia langsung memalingkan wajah ke arah jendela. Ia tak ingin Linden tahu bahwa dirinya terkejut mendengar pernyataan sang majikan barusan.

"Y-yaaa saya pernah mempelajari hal ini dulu sekali, waktu masih kerja serabutan," sahut Fiona, agak terbata-bata.

"Hoo, begitu. Oh ya, apa kau tahu sesuatu?"

"Tentang apa, Tuan?"

Linden mendekatkan wajahnya pada Fiona dan berbicara pelan. "Aku sering sekali, pergi ke desa-desa untuk inspeksi. Aku tidak pernah tahu, ada kerja serabutan yang menerapkan gaya pemasaran seperti itu."

Bulir keringat dingin langsung mengalir dari dahi Fiona. Ia tak dapat membalas apa pun perkataan dari sang tuan muda yang satu ini. Fiona akhirnya menyadari, Linden memang orang paling cerdik yang pernah ia temui seumur hidupnya.

"Kerja serabutanku banyak, Tuan! Aku memetik pelajaran berharga dari setiap pekerjaanku. Ke-kerabatku juga ada yang seorang pedagang!" kilah Fiona.

Linden mengangkat alisnya. "Kerabat yang mana? Karena dari yang kudengar, kau hanya punya seorang ayah penjudi dan pemabuk. Tidak mungkin dia, bukan?"

Kedai Rawon di Isekai (TAMAT - Republish)Where stories live. Discover now