Bab 2

1.1K 53 0
                                    

Sekian detik berlalu, Ahmad sudah berada di dalam mobil. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Adiba. Ahmad memijat kepalanya yang terasa pening. Ia masih tak menyangka jika Adiba tak pernah keluar dari mobil. Lalu, siapa yang dilihatnya tadi? Menurut keterangan Ilham, dirinya tiba-tiba saja turun dari mobil. Pandangannya kosong, lalu berjalan menuju semak belukar. Adiba lah yang memberi tahu Ilham jika di sana terdapat jurang yang cukup curam. Lantas, Ilham segera menghampiri Ahmad dan benar saja, Ahmad hampir terperosok ke dalam jurang, jika ia tidak menariknya.

Tiga puluh menit kemudian. Akhirnya tiba juga di kediaman Adiba. Selama perjalanan, Ahmad hanya bisa melihat pohon besar yang tumbuh memayungi jalan. Ia bisa menebak, jika malam hari pasti akan lebih gelap karena penerangan jalan tak sebaik di kota. Hanya ada beberapa lampu yang dipasang di tepi jalan. Itu pun belum tentu semuanya menyala.

"Adiba ..."

Seorang pria datang menyambut kedatangan Adiba. Gadis belia itu berlari, kemudian tenggelam dalam pelukan laki-laki tersebut.

"Bapak ..." Adiba memeluk erat pria yang dipanggilnya bapak itu.

"Ayo masuk, Nduk. Kamu pasti lelah. Kalian siapa?" Parta bertanya pada dua orang pemuda yang berada di belakang putrinya.

"Saya Ahmad, dan ini Ilham. Kebetulan saya yang akan mengajar ngaji di sini, Pak. Dan Kiai Sobirin meminta saya untuk mengajak Adiba, karena memang pergi ke desa yang sama." Jawab Ahmad, sembari mengulurkan tangan ke Parta.

"Loh, ini to yang mau mengajar di sini. Wah, masih muda ternyata. Silahkan masuk, kita bicara di dalam saja." Parta mengajak Ahmad dan Ilham untuk masuk ke rumah.

"Silahkan duduk. Nduk, tolong buatkan mereka minum. Setelah itu, beristirahatlah."

"Nggih, Pak."

Suara lembut Adiba bagai angin sejuk yang menerpa lembut wajah Ahmad. Pemuda itu tak berhenti mengagumi sosok Adiba. Gadis  yang selalu menutupi wajahnya dengan cadar itu, nyatanya telah berhasil mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu. Ahmad seperti menemukan semangat dalam hidup, setelah sekian lama menyendiri.

"Saya akan meminta bantuan warga untuk membuatkan rumah sementara untuk, Nak Ahmad dan juga Nak Ilham. Kebetulan saya punya lahan kosong yang bisa di tempati. Di sini itu tidak ada hotel, atau kontrakan seperti di kota. Kami para warga, hanya bisa membangun rumah sederhana. Bisa dilihat sendiri, bagaimana keadaan sekitar. Desa ini letaknya jauh dari kota, hanya orang yang mampu saja, yang bisa membangun rumah dari batu bata." Parta memulai percakapan setelah sekian menit mereka terdiam.

"Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan." Balas Ahmad sambil tersenyum. "Tapi, hanya saya saja yang tinggal di sini, Pak. Ilham hanya mengantar, besok dia harus pulang. Karena mempunyai tanggung jawab sebagai pengawas di Pondok," imbuh Ahmad. Ilham mengulas senyum manis di depan Parta. Parta pun membalasnya dengan tersenyum lebar.

"Begitu, to." Parta mengangguk-anggukan kepala. "Kalau begitu, saya akan menemui Pak RT terlebih dahulu. Supaya bisa bermusyawarah dengan cepat. Dan juga, meminta beliau untuk menempatkan kalian di rumah warga. Maaf, bukannya saya tidak mau memberi tumpangan di sini, hanya saja saya mempunyai seorang putri. Takut menjadi fitnah,"

"Baik, Pak. Kami mengerti."

Tak lama kemudian, Adiba datang sambil membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat, beserta sepiring ubi rebus yang sebelumnya sudah dipersiapkan Parta.

"Silahkan diminum, Nak Ahmad, Nak Ilham. Maaf, hanya ini yang bisa saya hidangkan. Maklum, tidak ada perempuan di sini. Hanya Adiba saja, itu pun kalau dia pulang. Kalau tidak ya, saya sendirian." Linangan air mata mulai menggenang di pelupuk mata Parta. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan. Adiba mengelus lengan sang bapak, seakan tahu apa yang bapaknya rasakan.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now