Bab 30

595 35 1
                                    

Tanpa di sadari, Ilham sudah lebih dulu melangkahkan kaki. Ia dengan cepat menarik tubuh Amara, dan menyembunyikannya di balik punggung.

"Kalau Bapak ingin membunuh Amara, bunuh saja aku, Pak. Siapa pun yang menyakitinya, akan berhadapan denganku!" Seru Ilham. Amara terbelalak mendengar ucapan Ilham. Tak disangka, pemuda itu begitu berani menentang bapaknya sendiri demi dirinya.

"Minggir, Ham. Ini bukan urusanmu!" Titah Pak Asep.

"Tidak! Ilham tidak akan membiarkan Bapak melukai Amara. Ilham cinta Pak sama dia. Apa Bapak tega menyakiti calon menantu Bapak," seru Ilham.

"Hahaha! Hahaha! Menantu? Apa itu menantu? Jangankan menantu, Ham. Ibumu sendiri saja, tidak berguna untuk Bapak. Apalagi dia, yang baru jadi calon! Kamu mengajak Bapak bercanda, Ham." Pak Asep tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan anaknya.

"Ibu? Jangan-jangan ..." Ilham menatap tajam ke arah bapaknya.

"Ya, Bapak yang sudah membunuh ibumu! Perempuan penyakitan itu sudah tak berguna lagi!" Cakap Pak Asep dengan wajah beringas.

"Astaghfirullahaladzim," lirih Ilham sambil menggelengkan kepala.

"Sekarang minggir! Bapak akan memberi pelajaran pada gadis itu, karena sudah lancang mengacaukan rencana Bapak!" Pak Asep lagi-lagi mengacungkan golok.

"Bunuh saja aku, Pak! Bunuh!" Seru Ilham.

"Kalau kamu bukan orang pilihan Nyai, sudah lama Bapak membunuhmu, Ham." Balas Pak Asep.

Ilham terkejut mendengarnya. Nyai? Siapa Nyai?

***

Perjalanan untuk kembali ke desa, membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum lagi, para anggota tudung hitam yang kian gigih mencari keberadaanya. Dalam kesendirian, Adiba terus melangkahkan kaki. Ia berusaha sebaik mungkin untuk tidak menimbulkan kericuhan.

Adiba sengaja mencari jalur lain, sebab jalan yang biasa di lalui sudah di kepung oleh beberapa anggota tudung hitam. Sebelum kepergiannya dari hutan, Adiba sempat melihat bayangan seseorang yang tampak berlari menuju rumah Pak Asep. Setelah lama diperhatikan, rupanya bayangan tersebut merupakan orang yang sangat ia kenal.

"Amara?" Lirihnya. Saat hendak menyapa, Adiba teringat akan suatu hal. Adiba terpaksa mengacuhkan keberadaan Amara, namun, saat ingin berbalik badan, ada seseorang yang mencegah langkahnya.

"Tolong, Ba. Aku tahu kamu sudah lama sembunyi di sini. Tolong, bantu aku," benar ternyata orang itu adalah Amara.

"Tolong untuk apa, Ra?" Tanya Adiba penasaran. Dan ia juga heran, mengapa Amara bisa berada di tempat itu. Bukankah anak Kiai itu tak pernah pergi keluar pondok sendirian?

"Di dalam sana, ada Ilham. Dia membutuhkan bantuan kita, kalau terlambat sedikit saja, bisa-bisa urusannya akan jadi panjang," jawab Amara. Ekspresi di wajahnya sukar ditebak.

"Itu memang rumahnya Ilham, Ra. Kenapa harus ditolong," Adiba tampak kebingungan.

"Justru itu, kita harus menolongnya. Bapaknya Ilham ternyata salah satu anggota kelompok tudung hitam. Kelompok yang menganut ilmu hitam. Aku tidak mau, Ilham terjerumus ke sana, Ba. Tolong bantu aku menyelamatkan Ilham." Pinta Amara.

"Apa? Tudung hitam?" Adiba terkejut mendengar nama itu. Dia memang lahir setelah peristiwa kelam terjadi. Namun, entah mengapa, ia sudah lebih dulu tahu tentang nama itu.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang