Bab 11

680 38 1
                                    

"Mau tanya apa, Ham. Malam-malam begini," Kiai Sobirin masih berdiri di depan pintu. Sedang menatap santrinya yang terlihat gugup.

"Boleh bicara empat mata, Pak Kiai?" Tanya Ilham.

"Boleh, silahkan masuk." Jawab Kiai Sobirin, mempersilahkan Ilham masuk ke dalam rumah setelah lama berdiri di ambang pintu.

"Ra, bisa tinggalkan kami berdua sebentar," pinta Kiai Sobirin pada anak gadisnya.

"Bisa, Abah. Amara pamit ke kamar," Amara mencium tangan sang bapak, berjalan melewati Ilham yang cengar-cengir sendiri. Ia begitu senang, dengan keputusan Amara soal niatan mundur memperjuangkan perasaanya kepada Ahmad.

Setelah kepergian Amara, Kiai Sobirin meminta Ilham untuk duduk di ruang tamu.

"Mau bicara soal apa, Ham?" Dengan suara lembut, Kiai Sobirin menanyakan perihal kedatangan Ilham ke ruangannya. Pria sepuh itu, tampak sesekali merapikan alas meja yang berantakan.

"Soal Desa Giung Agung, Pak Kiai." Ilham kesusahan menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Takut, jika sang Kiai justru akan memarahinya.

"Kenapa dengan Desa Giung Agung," balas Kiai Sobirin. Senyuman lebar masih mengembang di bibirnya.

"Apa tujuan Pak Kiai menyuruh Ahmad mengajar di sana? Setahu saya, desa Giung Agung itu terkena kutukan," Walau bibir terasa kelu, nyatanya Ilham berhasil merangkai kata-kata itu agar menjadi kalimat tanya yang ditujukan kepada Kiai Sobirin.

"Kamu dapat informasi darimana, Ham. Kok bisa punya pemikiran seperti itu," selidik Kiai Sobirin.

"Dari internet, Pak Kiai." Tukas Ilham.

Kiai Sobirin mengembus napas panjang. Mencoba menata pernapasan.

"Tidak ada yang namanya kutukan, Ham. Itu hanya isu, rumor tidak jelas yang sengaja ditulis oleh orang, berpandai-pandailah menggunakan media sosial," Kata Kiai Sobirin dengan nada lirih.

"Tapi ..." Ilham sengaja menjeda kalimat. Ia hampir saja keceplosan. Ia teringat dengan pesan Pak Parta untuk merahasiakan kejadian waktu di desa Giung Agung.

"Tapi, apa Ham?" Kiai Sobirin penasaran, dengan sikap Ilham yang seakan menutup-tutupi sesuatu hal.

"Tidak apa-apa, Pak Kiai. Saya penasaran saja dengan desa Giung Agung. Dari berita yang saya baca, tahun 1985 ada tragedi berdarah. Maksudnya tragedi berdarah itu apa ya, Pak Kiai?" Lanjut Ilham. Ada penekanan dalam setiap kalimatnya.

"Saya juga tidak tahu, Ham. Setahu saya, desa itu sedang membutuhkan guru mengaji baru. Kebetulan, Ahmad yang saya minta untuk ke sana. Kalau masih penasaran, coba saja tanyakan pada tetua atau warga di sana. Siapa tahu, kamu bisa mendapat jawabannya." Ucap Kiai Sobirin.

Ilham mengembus napas berat. Sepertinya memang Kiai Sobirin tidak mengetahui tentang latar belakang desa Giung Agung. Setelah puas bertanya kepada sang Kiai, Ilham segera berpamitan kembali ke kamar.

Kiai Sobirin memandang sendu pada santri muda itu. "Maafkan saya, Ham. Saya terpaksa merahasiakannya. Terlalu berbahaya jika kamu mengetahui semuanya."

***

Setibanya di kamar, Ilham segera merebahkan tubuhnya ke atas matras. Pikirannya terus tertuju ke desa Giung Agung. Pasti ada alasannya, kenapa Kiai Sobirin meminta Ahmad untuk mengajar di sana.

"Apa aku kembali saja ke sana, tapi apa yang harus kukatakan kepada Kiai untuk bisa ke sana lagi," gumam Ilham. Tangannya meraih guling, mendekapnya ke pelukan.

Kedua matanya mulai terpejam. Dari kejauhan terdengar suara jerit tangis seseorang. Ilham berusaha menutup telinganya dengan bantal. Ia tak mau lagi terjebak ke dalam mimpi buruk.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now