Bab 9

702 36 9
                                    

"Siapa?" Tanya seseorang yang berada di tempat yang sama.

"Santri muda itu. Dia begitu munafik. Saya bisa melihat jelas, apa yang sedang dipikirkannya. Ketenaran membuatnya lupa, siapa dia sebenarnya. Tapi saya justru menyukainya. Kita bisa lebih mudah mengadu domba mereka, dan mempercepat tujuan kita." Jawab rekan seseorang tersebut.

"Kamu memang tidak pernah berubah, selalu saja seperti ini. Saya kagum padamu," puji orang yang bertanya tadi.

"Saya akan lakukan apa pun untuk membalas dendam. Orang-orang itu harus merasakan betapa menderitanya kita,"

"Baiklah. Kita mulai malam ini,"

***

Jingga mulai temaram. Kilau keemasan yang menyinari permukaan bumi, mulai hanyut termakan waktu. Para anak kecil terlihat ramai memenuhi jalanan. Mereka berjalan dengan riang menuju mushola. Sementara para ibu hanya bisa mendoakan dari rumah. Perasaan cemas, membayangi setiap langkah. Keresahan yang timbul, membuat para ibu enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih tiduran sambil menonton acara televisi supaya bisa lebih tenang, walau pikiran kacau.

"Hawiyah, kata ibumu kamu sudah kenalan dengan Ustaz baru ya?" Tanya Putri, cucu Pak Usman.

"Ya, kemarin aku bertemu dengan Ustaz Ahmad. Orangnya ramah dan baik hati. Dan juga tampan," jawab Hawiyah penuh

"Kamu itu masih kecil, jangan terlalu genit!" Tegur Pak Usman yang tiba-tiba muncul di belakang Putri.

Hawiyah segera menundukkan kepala. Ia mempercepat langkahnya. Merasa malu, saat ditegur Pak Usman di depan temannya.

"Kakek tidak boleh bicara seperti itu, kasihan Hawiyah. Dia jadi malu," ucap Putri dengan bibir manyun.

"Kakek bicara apa adanya. Memang seorang gadis itu tidak boleh terlalu genit dengan laki-laki, apalagi yang bukan mahramnya. Agama mengajarkan, seorang perempuan harus mempunyai sifat malu, karena perempuan diciptakan sebagai makhluk Tuhan yang paling istimewa. Makanya, harus pandai jaga diri. Jangan sampai mempermalukan diri sendiri apalagi keluarga." Terang Pak Usman kepada cucunya yang baru menginjak usia 7 Tahun.

"Kakek, Putri itu masih kecil, mana paham dengan kata-kata Kakek." Bantah Putri.

"Justru masih kecil, harus sering-sering diingatkan. Kalau tidak, nanti bisa kebablasan." Ucap Pak Usman sembari menyentil hidung mancung Putri.

"Putri ke mushola dulu. Bicara sama Kakek itu, tidak menyenangkan." Omel Putri sambil setengah berlari.

"Astaghfirullah, maafkan hamba Ya Allah, karena belum mampu mendidik cucu hamba," lirih Pak Usman.

Putri berhasil mengejar Hawiyah. Putri meminta maaf atas sikap Kakeknya yang terlalu kolot. Hawiyah hanya tersenyum mendengarnya. Saat tiba di mushola, Yudi sudah bersiap mengumandangkan azan. Hawiyah tampak celingukan mencari keberadaan Ahmad.

"Ustaznya belum datang," gumam Hawiyah.

Hawiyah dan Putri mengambil posisi duduk. Mereka sengaja menempati saf pertama. Mereka sudah tidak sabar untuk belajar mengaji dengan Ahmad.

"Assalamu'allaikum," Pak Heru mengucap salam. Ia datang bersama Ahmad dan Indah.

"Wa'allaikumussalam," jawab para jemaah yang hadir.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now