Bab 44

673 34 10
                                    

Ahmad hanya sesekali menggoyangkan kepala ketika jemari Hasiah mengelus rambutnya. Sementara Ilham, tengah berusaha melanjutkan kembali tidurnya. Akan tetapi, suara teriakan para santri membuat konsentrasinya terganggu.

"Aku tahu kamu tidak sedang tidur, Mas." Ucap Hasiah.

"Ah, ketahuan," Ilham menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Ahmad.

"Kenapa kamu tidak panik, saat mendengar Oliv kesurupan? Bukankah seharusnya kamu keluar untuk melihat keadaannya," Hasiah berpindah tempat. Ia mendekat pada Ilham.

"Justru aku yang seharusnya bertanya padamu," balas Ilham. "Apa tidak aneh, seorang gadis masuk ke dalam kamar laki-laki, dan bahkan berani menyentuh bagian tubuhnya. Apa kau sudah tidak punya rasa malu?" Lanjut Ilham dengan senyum simpul dibibirnya.

Hasiah menghela napas panjang. Wajahnya memerah mendengar ucapan Ilham. Benar memang, mengapa dia tidak memikirkan hal itu, padahal jelas, larangan di agamanya bagi seorang perempuan yang bukan mahram berdekatan dengan laki-laki. Dan kini, ia justru masuk ke kamar laki-laki tanpa merasa malu sedikit pun.

"Astaghfirullahaladzim," bergegas Hasiah berlari keluar kamar. Ilham hanya tertawa terkekeh melihatnya. Di ujung pintu, masih berdiri Hasiah menatap tajam pada pemuda yang tengah merapikan sarung yang ia pakai. Pemuda tersebut, bahkan mengambil sebuah bantal untuk alas kepalanya. Ia sama sekali tak tertarik untuk keluar kamar. Bahkan sekadar basa-basi bertanya, bagaimana keadaan gadis yang dikabarkan kesurupan tadi.

"Aku harus berhati-hati dengannya," lirih Hasiah, kemudian berjalan meninggalkan tempat tersebut.

Beberapa menit yang lalu, Oliv gadis cantik yang seharusnya pulang hari ini, tiba-tiba saja berteriak histeris. Ia melompat ke sana ke mari, layaknya seekor kera. Ia juga memanjat lemari para santri putri. Mengacak-acak seluruh benda yang ada di kamar. Para rekan sekamarnya saling berteriak ketakutan. Ada yang mencoba berlari keluar kamar, namun naasnya, Oliv segera melompat tepat di hadapan sang santri putri. Dengan wajah beringas, Oliv menarik kerudung temannya, menyeret tubuhnya, kemudian mengantuk-antukkan kepala sang santri ke lantai dengan posisi tertelungkup.

Darah mengalir dari bagian depan kepala sang santri. Warna merah kental itu menggenang di lantai. Teriakan para gadis semakin menggema kencang. Beberapa santri lain hanya bisa menyaksikan pemandangan mengerikan itu dari luar jendela. Bahkan para pengawas pondok pun, merasa takut untuk masuk ke dalam.

"Ono opo iki, lah kok rame (ada apa ini, kok ramai)" celetuk Suryono, salah satu pengurus pondok yang bertugas di dapur.

"Itu kang, si Oliv kesurupan!" Balas salah satu santri yang ikut berkemurun di luar kamar sang santri putri.

"Astaghfirullahaladzim," Suryono segera masuk ke dalam kamar. Ia berusaha menghentikan aksi Oliv yang sedari tadi tak berhenti melukai temannya.

"Sadar, Nduk. Astaghfirullah, istighfar!" Suryono mengunci kedua tangan Oliv, dengan tangannya.

AAAAARGGGHHH!

AAAAARGGGHHH!

RRRRRR!

RRRRRR!

Oliv berteriak, meraung dengan wajah merah padam. Kedua matanya melotot. Dari mulutnya keluar air liur yang kental kekuningan.

"Manungso serakah! Manungso bejat! Kowe kowe pantes mati! Hahaha! Hahaha! (Manusia serakah! Manusia bejat! Kamu semua pantas mati)"

Oliv berusaha melepas cengkeraman Suryono. Tetapi, Suryono semakin mengencangkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Oliv.

"Istighfar, Nduk. Istighfar! Astaghfirullahaladzim!"

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now