Bab 15

609 36 5
                                    

"Maafkan Adiba, Pak." Lirih Adiba sambil menunduk. Air matanya mengalir deras, membasahi kain penutup wajah. Adiba terus terisak. Hatinya terasa sakit, saat Pak Parta secara terang-terangan mengucapkan kalimat itu.

Pak Parta hanya bisa diam, mengembus napas pelan lalu beranjak dari tempat duduk, mendekati Adiba.

"Bapak yang seharusnya minta maaf, Nduk. Bapak sudah membuatmu sedih. Bapak hanya mengingatkan saja, Bapak tidak mau kamu lupa, atau sengaja melupakan siapa bapak kandungmu. Semarah apa pun, sebenci apa pun kamu kepadanya, dia tetap bapak kandungmu, Nduk." Pak Parta mencoba menjelaskan maksud dari ucapannya.

Dalam hitungan detik, kejadian waktu itu teringat kembali. Di mana seorang perempuan datang ke rumahnya dengan langkah tertatih. Parta dan istrinya, segera keluar rumah saat mendengar suara seseorang  meminta tolong. Seusai membuka pintu, Parta dikejutkan dengan kedatangan Lastri yang tengah menggendong seorang bayi. Kedua tangannya berlumuran darah. Saat sang istri hendak bertanya, Parta segera menyuruh Lastri masuk ke dalam, dan  berusaha menahan sang istri agar tak memberikan banyak pertanyaan kepada adik perempuannya.

"Adiba juga minta maaf, Pak. Jujur, Adiba belum siap bertemu dengan orang itu. Adiba takut," Kata-kata Adiba membuyarkan lamunan Pak Parta.

"Ya sudah, kalau memang kamu belum siap. Bapak mengerti, besok Bapak pergi sendiri saja." Pak Parta menepuk bahu Adiba. Mencoba memahami isi hati sang putri angkat.

Melihat Adiba yang sedih, Pak Parta segera memeluknya. Meskipun Adiba bukan darah dagingnya, namun Pak Parta begitu menyayangi Adiba layaknya anak kandung sendiri. Begitu pun Adiba. Ia berusaha damai dengan takdir. Dan menerima kenyataan bahwa dirinya hanya anak angkat. Keduanya larut dalam tangis. Derai hujan seakan menambah pilu hati yang tersayat oleh luka. Sebab, ingatan itu muncul kembali dan terpatri dalam memori kenangan.

***

Angin malam meniup sepoi dedaunan yang bergerak seiring rintik hujan. Rembulan bersembunyi, mega mendung masih menggantung di langit. Entah, sampai kapan akan bertahan menemani malam yang dingin. Udara sepoi seakan menusuk masuk ke dalam celah tulang. Tak ada persiapan tentang hujan malam ini, kedua pemuda yang sedari tadi menunggu reda, masih saja digantung oleh suasana. Hingga tak terasa malam kian larut.

"Masih hujan ya, Mas?" Tanya Yudi pada Ahmad. Ia baru saja keluar dari kamar mandi. Yudi memang sering kali mandi, atau sekadar buang air di kamar mandi mushola. Ia takut sendirian di rumah. Ia sering menahan kencing saat malam hari. Takut jika nanti akan melihat hal-hal aneh seperti pada waktu di mushola.

"Masih, Mas." Jawab Ahmad sambil memandang ke arah ribuan air yang jatuh dari langit membasahi bumi.

Yudi langsung duduk di samping Ahmad yang sedari tadi fokus membaca wirid.

"Tadi katanya mau ada urusan, Mas? Tidak jadi pergi kah," celetuk Yudi. Sebenarnya ia masih penasaran, kenapa ia tidak diizinkan ikut oleh Ahmad. Sepertinya memang Ahmad mempunyai urusan yang penting. Hingga tak mau melibatkan dirinya.

"Mau berkunjung ke rumah warga, Mas. Tapi, karena hujan ya terpaksa saya tunda." Ucap Ahmad.

Yudi mengernyit. Ia semakin penasaran, dalam benaknya terus bertanya pada diri sendiri. Siapa warga yang akan ditemui Ahmad? Mengapa begitu penting sampai dirinya tak butuh seorang teman? Yudi terdiam. Pikirannya masih mencoba menerka, siapa yang akan dikunjungi guru muda itu.

Ahmad hanya tersenyum, melihat tingkah Yudi. Seakan tahu, apa yang sedang dipikirkan pemuda bertubuh kurus itu.

"Mas Yudi, dulu sebelum saya, siapa yang mengajar ngaji di sini? Mas Yudi kenal tidak?" Ahmad tiba-tiba bertanya demikian. Yudi terkejut mendengar pertanyaan Ahmad. Kedua matanya membulat lebar. Dari awal kedatangannya, kenapa Ahmad baru menanyakan hal itu? Jangan-jangan!

JALAN PULANGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora