Bab 33

534 29 5
                                    

Setelah menutup kepala Amara menggunakan kain hitam, Pak Asep kini berganti mengguyur tubuh Amara dengan air yang sudah ditaburi bunga. Sambil terus menggumam, Pak Asep begitu cekatan melakukan proses penumbalan.

"Ya Allah, jika memang hamba ditakdirkan untuk meninggal seperti ini, saya ikhlas ya Allah ..." lirih Amara. Dingin, itu yang dirasakannya pertama kali, saat air mulai membasahi sekujur tubuh.

Seusai memandikan Amara, Pak Asep segera mengambil sebilah pisau kecil. Pisau yang akan digunakannya untuk menguliti Amara.

"Aaarrggghhh!" Teriak Amara, ketika pisau tersebut menggores kulit tangannya.

"Sakit, Cantik?" Sindir Pak Asep.

"Lepaskan saya! Lepaskan saya!" Teriak Amara.

Pak Asep hanya tersenyum kecil, ia kembali menyayat kulit tangan Amara yang putih.

"Aaarrggghhh!" Lengkingan suara Amara menggema ke seluruh ruangan. Isak tangisnya tak lagi bersuara. Hanya bulir air mata yang menjadi saksi, betapa perih dan sakitnya ia hari ini.

"Kau tumbal yang sudah saya tunggu, saya pastikan kau tidak ak-

BUK!

Pak Asep terjatuh tertelungkup, dengan darah yang mengalir di bagian belakang kepala. Seketika Pak Asep tak sadarkan diri. Di sana sudah berdiri Wawan dengan sebuah balok kayu di tangan.

"Ngapuntene Pak Lek." Wawan segera membuang balok kayu tersebut, dan beralih melepas kain hitam yang sedari tadi menutupi kepala Amara.

"Tolong saya, Tolong lepaskan saya," pinta Amara ketika kedua matanya kembali melihat cahaya.

"Saya akan menolongmu, tenanglah sekejap." Wawan kini melepas ikatan di tubuh Amara. Melihat lengan Amara yang berdarah, Wawan bergegas melepas baju yang ia pakai guna menutup luka yang menyayat kulit Amara, agar sedikit menyumbat darah yang keluar.

"Terima kasih," ucap Amara.

"Cepat pergi dari sini, ajak Ilham ke desa. Dia sangat dibutuhkan di sana. Tolong jangan berhenti hanya karena diganggu jin milik Nyai. Saya yakin, kamu pasti bisa melawannya." Titah Wawan.

Meskipun Amara tidak tahu apa maksud ucapan Wawan, ia sesegera mungkin bangkit sambil menganggukan kepala. Yang terpikir di kepalanya saat ini hanyalah bisa selamat dari kekejian Pak Asep.

Wawan tersenyum lebar, melihat Amara yang tengah berlari keluar ruangan. Terlihat sekilas, dari arah belakang, postur tubuh Amara sangat menyerupai tubuh mendiang istrinya. Air mata tak lagi bisa ditahan, Wawan begitu menyesal karena tak bisa merelakan kematian istrinya yang dibilang tak wajar. Akan tetapi, kali ini rasa itu semakin menggerogoti nuraninya sebagai manusia. Ia takut, dan merasa berdosa telah menuruti hawa nafsunya untuk membalas dendam. Dendam yang ia sendiri tidak tahu akan ditujukan kepada siapa. Ia hanya mengikuti alur yang ditentukan oleh pamannya, Pak Asep.

Dan sekarang, ia sadar semua perbuatannya sudah terlalu jauh melampaui batas norma kemanusiaan. Wawan berharap, akan ada kesempatan untuk ia berubah, meskipun ia sangat tahu, resiko apa yang akan ia peroleh dari perbuatannya selama ini.

"WAWAN!" Geram Pak Asep saat mendapatkan kesadarannya kembali.

"Ngapunten Pak Lek," lirih Wawan. Setelahnya semua menjadi gelap. Yang terdengar hanya suara rintihan seseorang yang sedang menebus dosa.

***

Di tengah kekacauan yang melanda desa, di tepi sudut pemukiman, terdapat dua orang yang saling terdiam. Hanya tatap mata mereka yang berbicara.

"Hentikan semuanya, Nah! Ini semua tidak benar! Tolong, bertaubatlah! Allah masih memberimu kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi. Tolong ja-

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now