Bab 42

530 35 23
                                    

Keduanya tak henti beradu pandang. Semuanya tak masuk akal. Terlebih Ahmad. Padahal jelas-jelas, tadi lehernya terluka akibat perbuatan Pak Heru. Lantas, mengapa sekarang tiba-tiba hilang?

"Kalau boleh tahu, Mas-Mas ini tinggal di mana?"

"Kami salah satu santri di Pesantren AlJabar, Pak. Ka–

"Al-jabar? Sobirin?" Tanya orang itu dengan mimik wajah terkejut. Ahmad dan Ilham mengangguk.

"Nduk! Nduk! Siah! Hasiah!" Panggil bapak tersebut. Dari dalam, seorang gadis tampak berlari kecil menuju ruang tamu mereka.

"Dalem, Pak." Hasiah, nama gadis itu yang kini sedang merapikan ujung rok berwarna hitam yang dirasa mengganggu posisi duduknya.

"Nduk, mereka ini jebule santri tempatmu mondok. Bagaimana kalau kita antar pulang? Mesake Nduk, wes digawe mumet karo sosok iku. (Kasihan Nduk, sudah dibuat bingung sama sosok itu)"

"Hasiah, manut kaleh dawuhe Bapak (Hasiah, nurut apa perintah bapak)" ucap perempuan itu.

"Mas, istirahatlah di sini sebentar. Saya dan putri saya akan mengantar kalian kembali ke pondok. Saya pergi dulu, mau pinjam mobil Pak Sidiq. Nduk, temani mereka ya, Bapak pergi dulu." Bapak itu beranjak dari tempat duduknya, menarik napas sebentar, kemudian melangkah cepat keluar rumah.

Hasiah hanya mengangguk sambil mengulas senyum manis kepada bapaknya. Sementara kedua pemuda itu masih saja dibuat bingung dengan keadaan sekarang.

"Maaf, saya lupa membawa minumannya. Saya ke izin ke dapur sebentar," baru saja Hasiah hendak berdiri, seketika Ahmad mencegah langkahnya.

"Tunggu! Saya butuh penjelasan dari kamu. Sebenarnya, apa yang sudah terjadi dengan kita? Mengapa kamu, dan bapak kamu begitu tahu tentang desa Giung Agung? Dan apa yang membuat desa itu menjadi penuh misteri?"

Hasiah menatap Ahmad dalam-dalam. Pupil matanya sedikit membesar. Ada sesuatu yang ia tangkap, dari kedua mata tersebut.

"Maaf, Mas. Bukan wewenang saya untuk bercerita. Tanyakan saja sama bapak nanti," Hasiah berdiri, melepas perlahan tangan Ahmad yang sedari tadi memegang lengannya.

"Eh, maaf." Spontan Ahmad melepas tangannya. "Astaghfirullahaladzim," Ahmad lupa, jika ia tak sepantasnya menyentuh Hasiah, yang jelas bukan mahramnya.

"Istighfar, Mad. Istighfar."

Ahmad memicingkan mata. Di sampingnya, Ilham sedang menahan tawa sembari menutup mulut dengan satu tangan.

"Apa kau ketawa-ketawa, Ham?"

"Baru kali ini aku melihatmu menyentuh perempuan,"

"Namanya juga khilaf, Ham."

"Khilaf katanya," Ilham tertawa kecil sementara Ahmad mendengus kesal.

Tak lama kemudian, sang pemilik rumah kembali pulang, diiringi suara deru mobil yang kini terparkir di halaman.

"Mari, Mas. Kita berangkat sekarang!"

"Baik, Pak." Ahmad dan Ilham segera beranjak dari kursi, berjalan pelan keluar rumah.

"Buruan, Nduk!" Teriak sang pemilik rumah. Dari dalam terdengar suara pijakan kaki dengan langkah cepat. Kibasan kerudung merah maroon, beserta gamis berwarna sepadan, membuat gadis muda tersebut terlihat semakin cantik. Kulit putih, hidung mancung, kedua bola mata lentik, dan juga lesung pipi di kedua pipi sedikit berisi itu membuat siapa pun yang memandangnya senantiasa terpersona. Tak terkecuali Ahmad. Mendadak, ada angin yang menerpa lembut wajah Ahmad. Getaran hebat melanda debar jantungnya. Detaknya tak sama dari detik lalu. Langkah kaki yang seharusnya terus bergerak, kini tiba-tiba terhenti, dengan kedua mata memandang ke arah gadis itu berada.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now