Bab 8

711 40 3
                                    

"Wa'allaikumussalam," Ahmad menjawab salam dari Hawiyah dengan perasaan lega. Ternyata gadis itu bukan Hawiyah adiknya, melainkan orang lain yang kebetulan mempunyai nama yang sama.

"Ini anak saya, Ustaz. Namanya Hawiyah. Kalau saya, Hartini," Bu Hartini nama wanita itu saat memperkenalkan diri dan juga mengenalkan anak gadisnya.

"Senang bertemu dengan Bu Hartini, dan juga Dik Hawiyah. Nanti jangan lupa shalat berjemaah di mushola. Malam ini, hari pertama belajar mengaji. Persiapkan dirimu ya, Dik." Ucap Ahmad sambil tersenyum pada Hawiyah. Gadis kecil itu tersipu malu, kemudian menyembunyikan wajah dibalik punggung ibunya.

"Baik, Ustaz." Tukas Bu Hartini.

"Kalau begitu saya pamit Bu, assalamu'allaikum."

"Wa'allaikumussalam,"

Ahmad melanjutkan perjalanan setelah berpamitan dengan Bu Hartini. Setibanya di warung yang ditunjukkan oleh Bu Hartini, Ahmad segera membeli perlengkapan mandi yang ia butuhkan. Tak lupa ia juga membeli sebungkus kopi hitam beserta gula pasir untuk Pak Heru. Ahmad juga membelikan beberapa cemilan untuk Indah, anak Pak Heru.

"Maaf, anda ini siapa ya? Kok saya baru lihat," tanya Mbok Inah. Dahinya mengernyit, menampakkan kerutan yang lebar.

"Saya Ahmad, Mbok. Guru ngaji yang baru di sini," jawab Ahmad sembari menyodorkan uang kepada Mbok Inah.

"Loh, Ustaz baru ya, maaf Ustaz simbok tidak tahu. Maklum, simbok jarang ke mushola jadi tidak tahu kalau ada Ustaz baru, setahu saya dulu yang mengajar itu si ..." Mbok Inah segera menutup mulut. Tubuhnya bergemetar. Dirinya tampak gugup.

"Siapa Mbok?" Tanya Ahmad penasaran.

"Aisah, sebelum dia meninggal." Bisik Mbok Inah.

Ahmad meneguk saliva. Nama itu tak asing lagi baginya. Aisah adalah teman sebayanya dulu, waktu masih di desa. Aisah juga teman sekelasnya saat sekolah. Aisah mempunyai wajah yang cantik. Kebaikan hatinya sering kali membuat Ahmad kagum, dan menyimpan rasa. Rasa sekadar mengagumi, karena usia mereka masih kecil.

"Aisah? Siapa Aisah, Mbok?" Ahmad berpura-pura tak mengenal Aisah. Ia harus mengorek info lebih dalam dari Mbok Inah. Siapa tahu, Aisah yang dimaksud Mbok Inah bukan Aisah teman masa kecilnya.

Mbok Inah melirik sekeliling, setelah mengamati keadaan, Mbok Inah bergegas mengajak Ahmad masuk ke dalam warung.

"Aisah adalah seorang gadis cantik yang mengajar ngaji dulu. Dia juga pendatang seperti kamu. Satu tahun kemudian, Aisah ditemukan tewas di rumahnya dalam keadaan gantung diri. Tapi saya yakin, kalau Aisah itu sebenarnya dibunuh bukan bunuh diri." Ucap Mbok Inah secara hati-hati. Kedua matanya masih menelisik keadaan sekitar, takut jika ada orang yang mendengar.

"Kenapa dibunuh? Apa salah Aisah, Mbok?" Ahmad bertanya lagi, ia dibuat penasaran dengan cerita Mbok Inah.

"Setahu saya, Aisah dibunuh karena mengetahui rahasia salah satu orang terpandang di desa ini. Namun, dari keterangan polisi, Aisah dinyatakan meninggal karena depresi." Ujar Mbok Inah.

"Depresi?" Lirih Ahamd tak percaya.

"Mbok! Mbok Inah! Beli gula Mbok!" Teriak seseorang yang ingin membeli di warung Mbok Inah.

"Ya, tunggu sebentar." Balas Mbok Inah segera beranjak keluar. Mbok Inah menyuruh Ahmad untuk tetap bersembunyi di dapur. Ahmad pun setuju. Meskipun dirinya tengah dilanda kebingungan.

"Tumben lama, Mbok. Biasanya paling cepat kalau ada pembeli," sindir Pak Usman, yang hendak membeli gula.

"Ya, Pak Us. Simbok tadi di dapur, benerin gas dulu. Gas simbok habis," Mbok Inah berbohong.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now