Bab 48

614 32 36
                                    

"Bodoh! Mana ada, keabadian di dunia ini, Ru. Semua orang akan mati bila tiba masanya. Apa ingin kupercepat tanggal kematianmu?" Jawab Suryono. Ia tampak kesal dengan pertanyaan Pak Heru yang dianggap konyol.

"Janganlah, saya masih ingin hidup senang." Balas Pak Heru.

"Apa kau yakin, hidupmu sudah senang sekarang? Padahal jelas-jelas kau kehilangan anggota keluargamu." Ucap Suryono sembari berjalan pelan melewati tubuh Nyai Sekar yang kaku.

"Kematian Nilam dan Indah sudah saya anggap sebagai pengabdiannya pada saya. Jadi, saya tidak perlu merasa sedih," ujar Pak Heru.

Suryono terdiam, "Jadi seperti itu?"

***

Ritual pembangkitan mayat pun dimulai. Seluruh anggota tudung hitam bersama-sama merapalkan mantra. Dipimpin oleh Ki Alif, ritual tersebut berjalan khidmat. Ki Alif mencampurkan bunga setaman ke dalam cawan berisi darah. Tak lupa juga ibu jari milik Ahmad. Dan juga beberapa helai rambut milik sang mayat. Sang pemimpin mereka, hanya berdiam diri sambil memandang ke arah seluruh pengikutnya.

Mata itu menelisik, dari semua yang hadir, ada satu orang yang tampak mencurigakan. Hanya orang itu yang tak ikut merapalkan mantra. Dengan gerakan melesat, pemimpin itu sudah berpindah tempat, tepat di samping orang yang dicurigainya. Orang tersebut terkejut hingga tak sadar ia mengeluarkan suara.

"Astaghfirullahaladzim,"

"Mau menipuku ya," ucap sang pemimpin sembari membuka paksa penutup wajah orang tersebut.

Di sana, Adiba sedang tersenyum menyambut kedatangan pemimpin tudung hitam.

"Apakabar, Ra?" Tanya Adiba dengan senyum tipis di bibirnya.

"Rupanya kau sudah tahu," pemimpin tersebut membuka penutup wajahnya. Dan benar, orang itu adalah Amara, anak Kiai Sobirin.

Ahmad dan seluruh anggota tudung hitam pun terkejut saat mengetahui, selama ini Amara yang menjadi pemimpin mereka. Gadis yang dikira polos itu, rupanya telah berhasil mengelabui semua orang.

"Pantas, aku tidak asing dengan tahi lalat itu." Gumam Suryono.

"Ternyata, hanya tersisa kamu saja. Pantas, pengikutku tidak ada yang berhasil membunuhmu. Ah, aku salah perkiraan rupanya," ujar Amara.

"Aku juga tidak menyangka jika kamu dalang dari semua ini. Kamu juga yang sudah membuat kekacauan di desa, serta di pondok. Betapa hebatnya dirimu, Ra!" Puji Adiba.

"Begitulah. Berpura-pura menjadi orang baik itu sungguh melelahkan. Aku harus selalu memasang muka manis dihadapan semua orang. Terutama kepada lelaki tua itu." Amara membuka jubahnya. Hendak mengambil sesuatu, akan tetapi ...

JLEB!

Adiba terlebih dahulu menusuk perut Amara dengan pisau. Kemudian orang yang berada di sampingnya segera meringkus tangan Adiba. Sementara Amara hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu.

"Pisaumu ini tidak bisa melukaiku, Ba. Kau pikir, aku tidak mempersiapkan sesu-

Uhuk!

Darah keluar dari mulut Amara. Pandangannya segera beralih ke pisau itu, rupanya pisau tersebut bukan pisau sembarangan. Amara mencabutnya, dan benar di ujung pisau itu ada serpihan mustika batu biru yang selama ini dicari-cari oleh anggota mereka dan juga anggota tudung putih.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang